Oleh; Nawawi.S.Kilat
Istana bagi sebuah kerajaan adalah
tempatnya berdiam Datu ( Raja ) dan para kerabat-kerabatnya,lokasi atau
tempat didirikannya, menjadi pusat pemerintahan atau dikenal sebagai
Ware di Kerajaan Luwu, sebagai mana halnya Istana Datu Luwu yang
sekarang ada di Palopo merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu (Ware
pada periode ke V) yaitu sesudah dipindahkan dari periode Pao,Patimang
Malangke (Ware ke IV).Istana Datu Luwu yang ada di Kota Palopo sekarang
merupakan istana yang terakhir. Jika diketahui, sebagai Istana yang
terakhir, maka tentu ada istana-istana sebelumnya yang menyadi pusat
pemerintahan Kerajaan Luwu ( Ware ). Yang menjadi masalah, hal ini
kadang diabaikan yaitu dimana Istana Datu atau Kerajaan Luwu yang
Pertama, tempat dimana didiami oleh Batara Guru,sebagai sokoguru
pemerintahan Datu Luwu. Menurut tradisi,dan dipercayai banyak pihak,
Luwu dianggap sebagai daerah tertua bagi pemukiman dan merupakan
kerajaan yang tertua khususnya di Sulawesi, hal itu menyebabkan daerah
ini sangatlah bergengsi. Ketuaan Luwu tidak dapat dilihat pada periode
ke III ketika Pusat Kerajaan Luwu berpusat di Kamanre di tepi Sungai
Noling ( Palopo Selatan atau Kabupaten Luwu sekarang) karena hal
tersebut terjadi sekitar abad ke XV,atau ketika pusat kerajaan Luwu
berada di Pao,Patimang Malangke karena hal itu juga terjadi pada sekitar
abad ke XVI, apalagi jika hal tersebut dilihat ketika pusat kerajaan
Luwu berpusat di Palopo karena hal itu baru terjadi ketika memasuki abad
ke XVII. Ketuan Luwu hanya dapat dilihat ketika kerajaan Luwu berpusat
di sekitar Wotu lama karena hal tersebut terjadi disekitar abad ke IX
sampai abad ke XIII yaitu pada masa kerajaan Luwu pada periode Ware yang
pertama
Kembali pada permasalahan yang ada
tentang dimana letak Istana Luwu yang pertama, dan hal ini kadang atau
sengaja diabaikan sehingga perhatian kita hanya tertuju dimana Istana
Datu Luwu yang ada sekarang, yaitu di Palopo atau yangmenjadi Ware. Jika
perhatian kita hanya mengarah pada pemahaman ini, dikhawatirkan
khususnya para generasi muda wija to Luwu akan asing dengan sejarahnya
sendiri, mereka kehilangan jejak, pemahaman tentang Luwu makin sempit,
sementara terabaikan jejak perjalanan panjang ketika Ware di Wotu,tempat
berpijak awal dari Batara Guru dan keturunannya, ketika Ware di
Mancapai dekat Lelewawu selatan Danau Towuti tempat berpijak Datu Luwu
Anakaji dan keturunannya, ketika Ware di Kamanre, ditepi sungai Noling
sebelah selatan kota Palopo,tempat bepijak Dewa Raja dan keturunannya,
ketika Ware di pindahkan ke Pao, di Patimang dan Malangke dimana disini
terjadi peristiwa yang sangat besar, yaitu masuknya agama Islam yang
diperkenalkan oleh Dato Patimang. Sebagai catatan peristiwa-peristiwa
tersebut justru terjadi antara abad ke IX sampai dengan Abad ke XVI
Masehi, jadi berlangsung kurang lebih 700 tahun lamanya, terkadang
perhatian kita diarahkan atau sengaja diarahkan pada kejadian yang
selalu dijadikan fokus perhatian yang tertuju ke Palopo karena
kedudukannya sebagai Ware sekarang baru terjadi pada abad ke XVII
Masehi. Untuk menghadapi kehawatiran ini kami mencoba mengkajinya dari
beberapa penelitian serta cerita tutur yang terpelihara dengan baik di
tanah luwu dengan memulai, perhatian dari cikal bakal lahirnya kerajaan
Luwu dari periode Luwu Pertama, dengan menunjukan letak Istana Batara
Guru.
Ada anggapan bahwa sebahagian orang,
menganggap istana Luwu tempat berdiam Batara Guru yang pertama berada di
Cerekeng ( Cerrea), pendapat ini adalah sangat keliru karena masyarakat
Bugis menetap di Cerekeng baru pada pertengahan abad ke Limabelas ,(
Bulbeck dan Caldwell 2000;99 ) datang melalui Malili sekarang,adapun
penduduk yang mendiaminya pada saat itu adalah Wotu, Pamona, To padoe
atau Mori dan To Laki itulah sebabnya Malili tidak mempunyai penduduk asli, sehingga menurut Ian Caldwell Tidak
ada bukti apapun yang menunjukan masyarakat Bugis di Cerekang maupun
Ussu sebelum pertengahan abad ke Lima Belas. Hal ini berarti jikapun ada
Identivikasi lokal atas Cerekang sebagai tempat Istana Batara Guru
lebih tepat berlaku dari abad ke Enambelas ke atas, Lokasi dari pusat
istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah ( anakronisme ).
Sebagai catatan kata Cerekang adalah
terjemahan dari kata Cerrea yang merupakan nama asli Cerekeng. Cerrea
dalam bahasa Wotu berarti tempat berpindah atau hijrah,terjadi ketika
runtuhnya pusat kerajaan Luwu yang Pertama disekitar Wotu Lama yaitu
sekitar Ussu dan Bilassalamoa.Sebagai tambahan menurut Ian Caldwell
dalam tulisan “ Kenyataan, Anakrotisme dan Fiksi: Arkeologi bersejarah
dan pusat-pusat kerajaan dalam La Galigo” beliau menyatakan “ Hampir
pasti bahwa Istana Batara Guru di Cerekang di Teluk Bone Timur adalah
sebuah Mitos. Pemukiman Bugis di Cerekang hanya dimulai sekitar kurang
lebih tahun 1450, berhubung dengan naiknya peleburan besi dan produksi
alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk
beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata
mengadopsi dan mengadaptasi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua.
Wilayah Wotu dahulu kala adalah tempat
dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan pertama. Disini
jugalah pohon raksasa (pappua maoge) Welenreng ditebang untuk menbangun
perahu Sawerigading ( Pelras 1996;59).Pada hal dua tempat di Luwu ini
menyatakan bahwa disitulah bukit tempat dimana Istana Batara Guru
berdiri.Daerah yang pertama adalah Wotu, sebuah kota kecil yang
berbicara dalam bahasa daerah sendiri yang memiliki hubungan kausal
dengan Kaili, Buton dan Selayar, identifikasi lainnya adalah bukit
Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang.Disini terlihat
atau nampak bagi kita bahwa tanpa malu-malu dengan penuh kejujuran
peneliti Ian Caldwell mengakui bahwa Wotulah yang lebih tua. Jika ingin
jujur dan kembali dalam arus sejarah yang betul, maka seyogianya
pemerintahan Kabupaten Luwu Timur membetulkan berdasarkan sejarah kata
Cerekang dikembalikan sesuai dengan nomenklatur nama aslinya yaitu
Cerrea.Bukti lain adalah sesepuh kepala adat di Cerrea disebut sebagai
Pua Cerrea atau nenek Cerrea,Pua tidak dikenal dalam bahasa Bugis,
demikian pula halnya air suci yang ada di Cerekang (Cerrea) disebut Uwwe
Mami yang berarti Air Kami atau atau air bertuah. Uwwe Mami tidak
dikenal dalam bahasa Bugis tetapi hanya ada dalam bahasa Wotu.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Masyarakat Hukum Adat di Wotu
disebut Macoa atau yang dituakan, itulah sebabnya orang Wotu dianggap
tua atau macoa, sehingga Datu-Datu Luwu yang mengerti Sejarah Luwu yang
sebenarnya menempatkan hadat Wotu sebagai sangat terhormat, Datu Luwu
menempatkan Hadat Luwu sebagai Kakak atau Macoa, sehingga pemangku Hadat
Wotu disebut Macoa Bawalipu ( Yang dituakan di bumi). Pemangku Hadat
Wotu sangat menghormati dan menyayangi siapapun Datu di Luwu.Orang Wotu
memperlakukan Datu Luwu sebagai adik yang harus dijunjung tinggi dan
wajib dilindungi dan dibelanya, demikian pula sebaliknya dahulukala Datu
Luwu sangat menghargai orang Wotu sebagai kakaknya ,sebagai mana
diperlihatkan Datu-Datu sebelunya. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah
tanah Luwu, ada sekelompok orang, atau pihak-pihak tertentu yang tidak
mengerti sejarah Luwu yang sebenarnya dan berada disekitar Datu Luwu,
ingin menghilangkan hubungan baik ini,sehingga peran hadad Wotu sengaja
dikesamspingkan. Akan tetapi selicik apapun kelompok ini tidak akan
berarti karena setiap saat ada penelitian yang dilakukan para ahli,dan
orang Wotu sendiri sangat menhormati hadatnya, dan hadad Wotu
keabsahannya juga tidak membutuh adanya pengesahan dari pihak lain
termasuk siapapun yang menjadi Datu.Pemangku hadad Wotu dipimpin oleh
seorang Macoa, dengan gelar Macoa Bawalipu. Sejujurnya peneliti dari
manapun sulit menghilangkan Wotu dari sejarah tanah Luwu,karena Luwu
dimulai dari sana.Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, kami
menutupnya dengan kalimat bijak dari Daniel Defoe “ Bila Arlojiku
sendiri yang keliru, hanya aku yang tertipu, bila jam kota yang keliru,
maka seluruh warga kota ini akan tertipu karenanya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar