Rabu, 19 Februari 2014

Kerajaan Luwu



Istana Kerajaan Luwu di Kota Palopo pada tahun 1935
Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini mengacu pada nama Kerajaan Luwu yang disebut dalam naskah Bugis I La Galigo. Sesuai dengan naskah I La Galigo, Kerajaan Luwu kemungkinan telah berdiri pada abad ke-VII atau sebelumnya.

1. Sejarah

a. Sejarah awal Kerajaan Luwu

Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kerajaan ini, namun Kerajaan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan pada abad ke-XV (Bambang Suwondo, et.al., 1976:20). Jika ditarik ke belakang, nama Kerajaan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis I La Galigo. Di sini dikenal nama tokoh Sawerigading yang berasal dari kerajaan di Sulawesi Selatan (besar kemungkinan adalah Kerajaan Luwu). Menurut beberapa ahli, kerajaan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV (Suwondo, et.al., 1976:20). Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kerajaan Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum abad ke-VII.
Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari tiga kerajaan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo (http://id.wikipedia.org/). Pada bagian awal kisah dalam  I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis.  I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya sastra. Rafles menyebut I La Galigo  sebagai sebagai teks sejarah, khususnya pada bagian tokoh Sawerigading (Muhammad Yunus Hafid dan Mukhlis Hadrawi, 1998:12).
Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kerajaan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi kerajaan tertua di tanah Bugis (Hafid dan Hadrawi, 1998:13).
Kerajaan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu’ (http://id.wikipedia.org/). Bersama dengan Kerajaan Gowa dan Bone, Kerajaan Luwu disebut sebagai Kerajaan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau utama). Kerajaan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota di Palopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kerajaan Luwu (Muhammad Abduh, et.al., 1981:135).
Pada abad ke-XIV sampai XV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya (Bambang Suwondo, et.al., 1976:20). Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kerajaan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kerajaan Luwu menjadikannya sebagai kerajaan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi (http://ms.wikipedia.org/).
Kekuatan Kerajaan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan. Pada abad ke-XV, Kerajaan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di Kerajaan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 – 1530 Masehi, kekuasaan Kerajaan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kerajaan Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya diserahkan kepada Kerajaan Wajo. Ketika itu Kerajaan Wajo diperintah oleh Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, sedangkan Kerajaan Luwu diperintah oleh Dewaraja (http://ms.wikipedia.org/).
Kekuasaan Kerajaan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu, Kerajaan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah. Akibat dari semakin kuatnya Kerajaan Bone, pada pertengahan abad ke-XVII, kemegahan Kerajaan Luwu mulai tertandingi seiring dengan meningkatnya kebesaran Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka (Hafid dan Hadrawi, 1998:13). 

b. Perlawanan terhadap Belanda

Pada awal abad ke-20, Kerajaan Bone telah takluk di tangan Pemerintah Hindia Belanda. Penaklukan atas Kerajaan Bone ternyata berimbas dengan penaklukan terhadap Kerajaan Luwu dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk di dalamnya Kerajaan Luwu. Secara tegas, Kerajaan Luwu menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini, perang antara Kerajaan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.
Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kerajaan Luwu pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte verklaring) kepada raja Kerajaan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat perjanjian pendek dengan Kerajaan Luwu (Abduh, et.al., 1981:136). Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kerajaan Luwu diserang oleh Belanda.
Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kerajaan Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak Belanda dan Kerajaan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada tanggal 12 September 1905 (Abduh, et.al., 1981:138).
Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, “yang telah meninggal dunia di Ponjalae”) (Abduh, et.al., 1981:142). Pasca kematian Andi Tadda, Kerajaan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905 (Abduh, et.al., 1981:142). Sejak saat itu, Kerajaan Luwu telah takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.  
Penaklukan Kerajaan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan sistem pemerintahan yang berada di Kerajaan Luwu. Belanda mengatur sistem pemerintahan dengan membagi Kerajaan Luwu menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Selain itu, wilayah Kerajaan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekongga, (http://id.wikipedia.org/). Sistem pemerintahan di Kerajaan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.
Pada era kemerdekaan, Kerajaan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma (putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu (periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kerajaan Luwu terakhir. Sejarah Kerajaan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar (http://id.wikipedia.org/).
Suasana duka di Istana Luwu atas wafatnya Datu’ We Kambo Daeng Risompa

2. Silsilah

Penulisan silsilah para datu di Kerajaan Luwu sangat kental diselimuti oleh pengaruh mitos karena para datu diyakini sebagai keturunan dari para dewata (tumanurung). Menurut Suwondo, et.al., (1976:21), periode perjalanan sejarah para penguasa di Kerajaan Luwu dibagi atas beberapa periode, yaitu:

I Periode dewa-dewa.

Terdiri dari lima generasi, yaitu
  • Zaman Batara Guru
  • Zaman Batara Lettu
  • Zaman Sawerigading
  • Zaman Lagaligo
  • Zaman Latenri Tatta
Lima generasi dalam periode pertama di Kerajaan Luwu ini diduga berlangsung sampai abad ke-VI

II Periode kegelapan yang disebut sianre baleni tauwe.

Zaman ini berlangsung selama tujuh belas generasi dan baru berakhir sekitar abad ke-XIV ketika muncul penguasa di Kerajaan Luwu bernama Simpuru Siang Mannurunge ri Luwu (Datu Luwu I). Tokoh ini diduga sebagai peletak dasar dari pemerintahan Kerajaan Luwu.

III Zaman Lontara

  • Zaman Simpuru Siang pada abad ke-XIV
  • Zaman kelahiran kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (Kerajan Bugis dan Makassar).
Periodisasi di atas belum bisa diterima sebagai fakta sejarah. Bahkan kemunculan nama Sawerigading yang juga ditulis dalam I La Galigo juga masih dipertanyakan keabsahan nilai sejarahnya karena I La Galigo lebih sebagai bentuk karya sastra dibandingkan dengan tulisan sejarah. Berkaca dari kesimpulan awal ini, maka secara historis, silsilah dari para penguasa di Kerajaan Luwu belum bisa dituliskan secara lengkap. Silsilah yang dituliskan di bawah ini sebatas sebagai rangkuman dari nama-nama penguasa yang pernah bertahta di Kerajaan Luwu yang diambil dari beberapa buku. Kajian untuk menguak tentang para penguasa di Kerajaan Luwu yang notabene diakui sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, seyogyanya harus dilakukan secara komprehensif. Nama-nama penguasa di Kerajaan Luwu yang telah berhasil dihimpun sebagai berikut:  
  • Simpuru Siang Mannurunge ri Luwu (berkuasa pada abad ke-XIV) (Datu Luwu I) (Suwondo, et.al., 1976:21)
  • Dewaraja (1500-1530 M) (http://ms.wikipedia.org/).
  • Datu La Patiware’ Daeng Parabbung  (1585 – 1610 M) (Datu Luwu ke-XIII) (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993a:298).
  • Payungnge ri Luwu Fatima Batara Tongke (1713-1719) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Payungnge ri Luwu Batari Toja (1719-1734) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Payungnge ri Luwu We Tenrileleang Aisyah Bahjatuddin (1734-1751) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Datuk of Tanette (From 1747) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Payungnge ri Luwu Petta Matinroe ri Kaluku Bodoe (From 1751) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Payungnge ri Luwu We Tenriawaru (1809-1826) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Payungnge ri Luwu Datuk Opu Anrong Guru (MatinroE-ri-Tamalulu) (1880-83) (http://azhartoputiri.blogspot.com/)
  • Datu Payungnge ri Luwu Andi We Kambo Opu Daeng Risompa (1898-1935). Ttelah memerintah ketika Belanda mulai menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905) (Abduh, et.al., 1981:136).
  • Andi Patiware bergelar Andi Jemma (memerintah pada masa pendudukan Jepang tahun 1942. Beliau merupakan datu terakhir Kerajaan Luwu) (http://id.wikipedia.org/).

Presiden Soekarno bersama dengan Andi Jemma

3. Sistem Pemerintahan

Struktur pemerintahan di Kerajaan Luwu menempatkan status seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Raja merupakan pelaksana kekuatan tertinggi sebagai penyatu kekuatan magis dan mistis (Sartono Kartodirdjo, 1969:13). Di Kerajaan Luwu kedudukan seorang raja bergelar mangku’E (yang bertahta) atau payungnge ri Luwu (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:297 dan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993b:42). Sebutan ini mengalami perubahan ketika ajaran Islam mulai masuk ke Kerajaan Luwu pada abad ke-16. Kala itu, Datu Luwu ke-XIII yang bernama La Patiware’ Daeng Parabbung  (1585 – 1610 M) menerima dan masuk Islam pada tahun 1604 – 1605. Beliau menjadi raja pertama dari Kerajaan Luwu yang memeluk Islam. Sehubungan dengan telah masuknya La Patiware’ Daeng Parabbung ke dalam agama Islam, maka sebutan raja atau datu di Kerajaan Luwu berubah menjadi sultan sebagaimana gelar yang kemudian disandang oleh La Patiware’ Daeng Parabbung, yaitu Sultan Muhammad (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:298).
Menurut hukum adat, di wilayah Bone disebut “Latowa”, di Gowa disebut “Rappang”, dan di Wajo disebut “Lontara”, sistem pengangkatan seorang raja dikonsep sebagai berikut: Raja/ sultan diangkat oleh Dewan Pemangku Adat. Raja diangkat melalui pemilihan calon-calon yang telah ditentukan dan disaring oleh Dewan Pemangku Adat yang berjumlah 40 orang (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:301). Sistem pengangkatan yang cukup ketat ini diberlakukan karena kedudukan raja adalah pemimpin tertinggi. Sehubungan dengan kedudukan yang ditinggikan daripada masyarakat di sekitarnya, maka tidak jarang martabat seorang raja dihubungkan dengan unsur kedewaan, raja merupakan penjelmaan dari dewa (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:302). Selain itu, rakyat di Kerajaan Luwu juga hanya mau diperintah oleh keturunan dari tumanurung, yaitu wakil dewata di dunia (Abduh, 1981:135-136).    
Di bawah kedudukan seorang raja diangkat seorang opu patunru, sebuah jabatan yang setara dengan kedudukan mangkubumi (perdana menteri). Putra mahkota didudukan dalam suatu dewan pemerintahan yang bernama hadat tinggi (pakettena ade’E) dan hadat sembilan (ade asera’E). Kedua nama ini lazim disebut sebagai hadat luwu (Abduh, et.al., 1981:137). Hadat luwu terdiri dari opu patunru (perdana menteri), opu pabbicara (menteri kehakiman), opu tomarilaleng (menteri dalam negeri), dan opu balirante (menteri kesejahteraan) (Abduh, et.al., 1981:137). Dewan pemerintahan ini merupakan pemangku kekuasaan yang kedudukannya setara dengan jabatan legislatif pada masa sekarang.
Opu patunru yang setara kedudukannya dengan seorang perdana menteri membawahi dua jabatan, yaitu opu pabicara dan opu tomarilang yang bertugas untuk mengurus segala urusan yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam istana. Di bawahnya terdapat opu bale rante yang mempunyai tugas seperti bendahara istana sekaligus mengurus urusan perdagangan dan hubungan ke luar kerajaan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:308). Kerajaan Luwu tidak mengenal istilah menteri luar negeri karena tugas tersebut telah diemban sekaligus oleh opu bale rante.        
Selain jabatan-jabatan di atas, terdapat pula jabatan-jabatan lain, seperti: opu wagee yang bertugas sebagai kepala pembawa sirih bipang, opu cenrana yang bertugas sebagai kepala pasukan, dan opu lalantoro yang menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga putra mahkota. Sedangkan untuk urusan keagamaan, diurus oleh kadi yang dibantu oleh imam dan bilal (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:308-109).
Ketika Islam telah masuk dan diterima oleh Kerajaan Luwu, dikenal adanya sistem seba, yaitu suatu acara pertemuan atau sidang raja-raja. Pada kesempatan ini, para penguasa di daerah taklukan akan menghadiri acara sebagai tanda kesetiaan terhadap negara induk. Sistem seba diadakan setahun sekali pada Hari Raya Idul Fitri. Konsep acara seba menjadi tanggungjawab dewan pemerintahan, yaitu hadat luwu. Sebelum acara seba berlangsung, dewan pemerintahan mengundang para kepala negara taklukan untuk datang. Ketika para pemimpin dari negara taklukan telah hadir, maka para pemimpin dari negara taklukan telah memperlihatkan loyalitas mereka terhadap raja negara induk (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:323).
Selain seba, hubungan antara negara induk dengan negara bawahan juga diatur dalam upaya perluasan wilayah. Apabila negara bawahan akan memperluas wilayah, negara tersebut harus mendapatkan restu dari negara induk. Hal ini dilakukan karena telah menjadi kesepakatan bahwa antara negara induk dengan negara bawahan harus saling menghormati dan mendukung, terutama apabila pada salah satu negara terjadi pertikaian dengan negara lain. Bantuan secara otomatis akan diberikan oleh negara induk kepada negara bawahan apabila terjadi penyerangan oleh musuh, baik yang berasal dari dalam maupun luar (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993a:334-335).   
Ketika Belanda menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905, sistem pemerintahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi yang dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah yang dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Belanda kemudian membagi wilayah Kerajaan Luwu menjadi beberapa bagian, yaitu:
  1. Wilayah Poso (yang kini termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Tengah) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan dan dibentuk menjadi satu afdeling tersendiri.
  2. Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
  3. Dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Afdeling Luwu juga dibagi menjadi onder afdeling, yaitu:
  1. Onder Afdeling Palopo, mempunyai ibukota di Palopo.
  2. Onder Afdeling Makale, mempunyai ibukota di Makale.
  3. Onder Afdeling Masamba, mempunyai ibukota di Masamba.
  4. Onder Afdeling Malili, mempunyai ibukota di Malili.
  5. Onder Afdeling Mekongga, mempunyai ibukota di Kolaka (http://id.wikipedia.org/).
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu belum pernah disinggung secara implisit dalam satu literatur yang lengkap. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keterbatasan data sehubungan dengan usia Kerajaan Luwu yang hingga kini diakui sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu mulai bisa terekam ketika perlawanan terhadap Belanda meletus pada awal abad ke-20. Dilihat dari berbagai perlawanan yang menempatkan kubu-kubu pertahanan di banyak tempat, bisa dirangkai tentang wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu. Daerah-daerah tersebut seperti:
Teluk Bone sebelah utara (Kerajaan Luwu ditengarai juga menguasai jalur perdagangan rempah-rempah antara Batavia-Maluku), Sungai Cenrana, Paloppo (pusat pemerintahan Kerajaan Luwu), kampung Bua (wilayah di sebelah selatan Palopo), kampung Balandai (wilayah di sebelah utara Kota Palopo sekarang), kampung Ponjalae (wilayah di pinggiran Kota Palopo sekarang), Baramamase, Lebang (wilayah di sebelah batat Kota Palopo sekarang), sekitar Sungai Rongkong, Wotu (wilayah yang berjarak sekitar 120 km sebelah utara Palopo), Malili (wilayah di sebelah utara Wotu), sekitar Sungai Kalena, Pong Katapi (wilayah yang terletak sekitar 10 km di sebelah selatan Kota Palopo sekarang), Topoka (wilayah yang terletak sekitar 70 km di sebelah selatan Kota Palopo sekarang), Suli, Larompong, daerah di sekitar Sungai Suli (terletak sekitar 65 km di sebelah selatan Palopo), Tana Toraja, wilayah di perbukitan di sekitar Kaddo, Belumanuk, Perangaian, Buntu Karua, sekitar Sungai Maiting, sekitar Sungai Sangpiak, Mamasa, Rantepao, Pangalla, Enrekang, Madandan, Lalik Londong, sekitar Sungai Saddan, Sua-sua (kini termasuk ke dalam Provinsi Sulawesi Tenggara), Kolaka (kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara), Wawo (wilayah di sebelah utara Kota Kolaka sekarang), dan Pantilang (Abduh, et.al., 1981:135-158). Secara umum, wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu meliputi daerah Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah) (http://id.wikipedia.org/).
(Tunggul Tauladan/ker/02/10-2010).

Referensi

“Kerajaan Luwuk” tersedia di http://ms.wikipedia.org/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2010.
“Kesultanan Luwu” tersedia di http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 12 November 2010.
“Sejarah Tanah Luwu” tersedia di http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 12 Oktober 2010.
Bambang Suwondo, et.al., 1976. Sejarah daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993a. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993b. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad Abduh, et.al., 1981. Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentai Sejarah Nasional.
Muhammad Yunus Hafid dan Mukhlis Hadrawi, 1998. “Persepsi masyarakat Bugis-Makassar terhadap naskah kuno di Sulawesi Selatan” dalam Laporan penelitian sejarah dan nilai tradisional Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sartono Kartodirdjo, 1969. Struktur sosial dari masyarakat tradisional dan kolonial, Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada.
“Datu Luwu (Perempuan)” tersedia di http://azhartoputiri.blogspot.com, diakses pada tanggal 20 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar