Rabu, 19 Februari 2014

ISTANA DATU LUWU

Sejarah Perjuangan Rakyat Luwu

KEMERDEKAAN Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 bukan hadiah dari bangsa penjajah, akan tetapi ditebus melalui tetesan air mata, pertumpahan darah dan bahkan jiwa sekalipun. Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan salah satu bentuk perjuangan rakyat Luwu dalam mempertahankan Kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Berikut kilas balik Perjuangan Rakyat Luwu, 23 Januari ke-61 yang dipusatkan di Kabupaten Luwu Utara.
Seluruh Kepala Daerah yang ada di Tana Luwu (Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur termasuk Tana Toraja) termasuk Pejabat penting dari Provinsi Sulawesi Selatan, 23 Januari 2007 berada di Luwu Utara untuk memperingati hari perjuangan rakyat Luwu. Sejarah perjuangan rakyat Luwu bagi masyarakat Tana Luwu menjadi momentum yang cukup penting sepanjang zaman bagi masyarakat Luwu khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan salah satu rangkaian proses perjuangan bangsa Indonesia yang cukup panjang. Di dalamnya terdapat berbagai faktor dan variabel-variabel sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Sejarah perjuangan rakyat Luwu, 23 Januari sebagai wujud nyata kebangkitan dan kesadaran masyarakat Luwu dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang dipelopori oleh Pemuda dan Pemerintah Kerajaan Luwu. Dua hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 19 Agustus 1945 jam 23.00 malam atas prakarsa tujuh orang pemuda di Palopo, Andi Makkulau Opu Dg. Parebba (alm.), M. Yusuf Arief (alm.), Andi Achmad, Mungkasa (alm.), Andi Tenriadjeng (alm), H. Abd. Kadir Daud (alm.), dan M. Guli Dg. Mallimpo (alm.), membentuk suatu organisasi yang bernama “Soekarno Muda”.
Tujuan dari organisasi ini adalah mengadakan perampasan senjata dari tangan Jepang untuk membela Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada keesokan harinya, tujuh pemuda tersebut menghadap Paduka Andi Djemma Datu Luwu sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Luwu pada waktu itu. Dalam pertemuan yang berlangsung selama empat jam, diambil keputusan untuk mengirim delegasi ke Makassar yang menunjuk M. Sanusi Dg. Mattata sebagai wakil Pemerintah dan Andi Makkulau mewakili pemuda menghadap DR. Ratulangi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi. Maksud dari pengiriman delegasi asal Luwu ini adalah untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan dan petunjuk tentang negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Selama dua hari delegasi tersebut kembali dari Makassar dan membawa hasil bahwa benar Bung Karno dan Bung Hatta telah memprolamirkan 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia. Untuk itu rakyat Luwu harus membelanya sampai tetesan darah penghabisan. Demikianlah, semangat perjuangan rakyat Luwu terus dikobarkan mulai dari Kota Palopo sampai ke distrik-distrik atau kesatuan-kesatuan pergerakan di seluruh pelosok desa, kampung dan gunung-gunung. Meskipun badan-badan atau kelompok-kelompok perjuangan ini beraneka ragam, tetapi mempunyai tekad dan tujuan yang satu yakni, “Merdeka atau Mati”. Sebagai langkah pertama dilakukan rakyat Luwu ketika itu adalah mengadakan perampasan senjata oleh segenap kesatuan lasykar masing-masing. Khusus Pusat Komando sasaran perampasan senjata di tangsi lama.
Selain itu, diadakan pusat latihan Pemuda yang diambil dari tiap-tiap Desa atau Kampung. Setelah latihan dikembalikan ke desanya/kampungnya masing-masing guna melatih Pemuda-pemuda di daerahnya. Sementara di Makassar sendiri telah diduduki tentara Nica dan mulai melakukan peranannya untuk mengembalikan kekuasaannya ke Indonesia. Ketika itu terdengar kabar bahwa Nica akan mengadakan Konfresi Raja-Raja di Makassar. Atas prakarsa Andi Djemma Datu Luwu, diadakan Konfrensi Raja-Raja di Watampone. Dalam Konfrensi tersebut, Paduka Andi Djemma Datu Luwu mengeluarkan pernyataan: “Luwu berdiri di belakang Rebuplik Indonesia, daerah Luwu adalah daerah yang tak terpisahkan dengan Republik Indonesia.”
Setelah konfrensi tersebut, kemudian disusul dengan konfrensi Pemuda di Sengkang. Salah satu keputusannya ialah apabila salah satu daerah diserang musuh, maka daerah lain harus bergerak untuk mencegah dan memecah belah kekuatan musuh. Pada awal bulan Oktober 1945 tentara Sekutu dalam hal ini Australia menduduki Kota Palopo di bawah pimpinan Mayor Right dengan tugas melucuti senjata Jepang. Atas hasil pertemuan antara sekutu dengan kerajaan Luwu, tentara Sekutu menjelaskan bahwa mereka hanya melucuti tentara Jepang, hal mana diterima Kerajaan Luwu. Namun demikian Kerajaan Luwu tetap tidak menerima Nica yang datang untuk mengembalikan penjajahan. Situasi ini tentunya menimbulkan ketegangan antara tentara Nica dengan Pemerintah kerajaan Luwu. Pada saat itulah, peranan dan sikap yang patriotik lasykar Pemuda Larompong sebagai pengawal pintu gerbang masuk di wilayah Kerajaan Luwu dapat membendung dan menghalau terobosan konvoi pasukan Nica. Hambatan Pemuda Larompong ini telah membuat kesulitan Konvoi tentara Nica untuk menerobos wilayah Kerajaan Luwu.
Makanya Tentara Nica tersebut mencari jalan alternatif lain yakni melalui Enrekang-Toraja untuk sampai di Palopo sebagai ibu Kota Kerajaan Luwu. Setelah berada di Luwu, ajakan Sekutu mula-mula berjalan biasa, tetapi lama kelamaan situasi agak tegang karena tentara Sekutu sudah mulai memperlihatkan belang sesungguhnya. Sebab ketika itu tentara Sekutu yang dibencengi Nica mulai mengingkari janjinya. Menyikapi masalah ini, Pemerintah Kerajaan Luwu kembali melakukan pertemuan dan mengambil keputusan bahwa keamanan kota dan sekitarnya dipertanggungjawabkan oleh Polisi Istimewa dibawah pimpinan Andi Achmad yang terdiri dari bekas-bekas Heiho. Keadaan kota Palopo ketika itu tidak menentu, disana sini sering terjadi perkelahian antara Pemuda dan tentara Nica KNIL. Sementara itu, tentara Nica menjalankan Politik adu dombanya sehingga berhasil mempengaruhi beberapa kaum bangsawan.
Andi Muhammad Kasim sebagai Sullewatang Ngapa di Kolaka memimpin gerakan Pemuda. Andi Muhammad Kasim bersama dengan lasykarnya berhasil mengumpulkan senjata api sebanyak 80 pucuk. Pada tanggal 19 Nopember 1945 pasukan ternyata Nica di bawah pimpinan Letnan Boon dari jurusan Kendari. Pasukan Nica ini mendapat perlawanan hebat dari Pemuda-pemuda Kolaka. Bahkan Letnan Boon sebagai Komando tentara Nica saat itu berhasil ditawan. Atas peristiwa ini, Nica kembali melakukan taktik liciknya dengan mengajak Pemerintah Kerajaan Luwu untuk berunding. Hasilnya, Letnan Boon yang ditawan ditukar dengan pemuda-pemuda Luwu yang ditawan Australia.
Sementara di Palopo dan sekitarnya, Nica semakin memperuncing keadaan. Tentara Nica saat itu melakukan teror terhadap warga. Tak segan-segan tentara penjajah ini melakukan penyiksaan fisik terhadap penduduk termasuk mengotori rumah-rumah ibadah. Melihat sikap Nica yang semakin beringas tersebut, Pemerintah bersama Pemuda Luwu mengambil keputusan bahwa Nica bersama antek-anteknya harus diusir dari Tana Luwu khususnya dan Indonesia pada umumnya. Akhirnya tanggal 23 Januari 1946 pukul 03.00 dinihari, rakyat Luwu yang gugur dalam melumpuhkan musuh. Pemuda ketika itu berhasil menguasai kota palopo sampai tanggal 25 Januari 1946. Mendapat serangan yang begitu dahsyat dari rakyat Luwu, tentara Nica yang bermarkas di Makassar mengirim bala bantuan yakni sebuah kapal perang untuk menggempur habis-habisan Kota Palopo dari udara. Setelah Kota Palopo dikosongkan oleh Pemuda, maka tentara Nica melakukan pendaratan. Untuk menghindari banyak rakyat Luwu jatuh korban, Sri Paduka Datu Luwu bersama Permaisurinya dan seluruh perangkat kerajaan luwu serta pimpinan kelasykaran memutuskan untuk mengadakan perlawanan dari hutan-hutan dengan cara bergerilya.
Demikan perjuangan pemerintah kerajaan Luwu bersama dengan rakyatnya dihutan-hutan dengan cara bergerilya sampai kesulawesi tenggara (Latou) menyebrang melalui Malangke. Disinilah (Latou,red) Sri Paduka Datu Luwu menjalankan roda pemerintahan dan memimpin perlawanan rakyat luwu dalam mengusir penjajahan di Tanah Luwu. Untuk menyempurnakan organisasi perjuangannya, maka dibentuklah PKR Luwu. Sehingga tidak ada cela di Tana Luwu yang tidak luput dari perlawanan rakyat.
Konsolidasi perlawanan terakhir pemuda ialah Masamba Affair yang sampai getarannnya di Konfrensi Meja Bundar di Denhak Belanda. Perlawanan Pemuda Masamba yang dikenal dengan Masamba Affair ini secara politis telah membuka mata dunia bahwa Indonesia Timur masih ada perlawanan rakyat . Perjuangan rakyat Luwu ini dikukuhkan dengan piagam penghargaan angkatan perang Republik Indonesia tanggal 05 Oktober 1951
Categories: SEJARAH LUWU | & Komentar

Sejarah Luwu

Sejarah  Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. SebelumnyaLuwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahiTanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan,Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo danSawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
  • Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah ” Kambo Opu Tenrisompa” kemudian diganti oleh putranya “Andi Jemma” .
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan “Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia”.
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: – Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. – Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
  • Kewedanaan Palopo
  • Kewedanaan Masamba dan
  • Kewedanaan Malili.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: – Wara – Larompong – Suli – Bajo – Bupon – Bastem – Walenrang – Limbong – Sabbang – Malangke – Masamba – Bone-bone – Wotu – Mangkutana – Malili – Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: – Kec.Lamasi – Kec.Walenrang – Kec.Pembantu Telluwanua – Kec.Warautara – Kec.Wara – Kec.Pembantu Waraselatan – Kec.Bua – Kec.Pembantu Ponrang – Kec.Bupon – Kec.Bastem – Kec. Pemb. Latimojong – Kec.Bajo – Kec.Belopa – Kec.Suli – Kec.Larompong – Kec.Pembantu Larompongselatan
II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
  1. Kec. Sabbang
  2. Kec. Pembantu Baebunta
  3. Kec. Limbong
  4. Kec. Pembantu Seko
  5. Kec. Malangke
  6. Kec. Malangkebarat
  7. Kec. Masamba
  8. Kec. Pembantu Mappedeceng
  9. Kec. Pembantu Rampi
  10. Kec. Sukamaju
  11. Kec. Bone-bone
  12. Kec. Pembantu Burau
  13. Kec. Wotu
  14. Kec. Pembantu Tomoni
  15. Kec. Mangkutana
  16. Kec. Pembantu Angkona
  17. Kec. Malili
  18. Kec. Nuha
  19. Kec. Pembantu Towuti
III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
  1. Kecamatan Bara
  2. Kecamatan Cendana
  3. Kematan Mungkajang
  4. Kecamatan Telluwanua
  5. Kecmatan Telluwarue
  6. Kecamatan Wara
  7. Kematan Wara Barat
  8. Kecamaatan Wara Selatan
  9. Kecamatan Wara Timur
  10. Kecamatan Wara Utara
IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
  1. Angkona
  2. Burau
  3. Malili
  4. Mangkutana
  5. Nuha
  6. Sorowako
  7. Tomoni
  8. Tomoni Utara
  9. Towuti
  10. Wotu
Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
  • Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar