1. Sejarah
Kerajaan Luwu.
Kata Luwu
berasal dari kata bugis “riulo” yang
berarti diulur, kemudian dihamparkan dan ditaburi/dilengkapi dengan kekayaan
alam yang melimpah-limpah dan menjadi satu daerah atau kerajaan pusaka ”ongko”. Luwu juga berarti suatu daerah
yang sangat subur tanahnya dan mempunyai banyak kekayaan, baik yang berada
diatas permukaan buminya maupun kekayaan alam yang ada didalam perut buminya.
Luwu juga berarti “malu”, artinya keruh atau gelap. Dapat disaksikan, bahwa seluruh
dareah kerajaan luwu sejak dari pantai sampai puncak gunung, kelihatan “gelap”,
oleh karena tertutup dengan hutan rimba yang lebat yang berisi kekayaan alam yang
tidak terkira-kira banyaknya (Moh. Sanusi, 1962;1-2). Luwu biasa juga disebut Ware’[1], Luwuq, tetapi pada
dasarnya memiliki arti yang sama yaitu Luwu.
Kerajaan
Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi-Selatan, hal ini berdasarkan sumber
tertulis tertua yang menyebutkan tentang Luwu yaitu dalam naskah yang dikenal dengan nama Sure’ Galigo. Berdasarkan
hal itu, Kedatuan Luwu diperkirakan muncul sekitar abad ke X Masehi pada masa
pemerintahan Batara Guru yang juga dianggap sebagai manusia pertama dalam
kepercayaan masyatakat Luwu (bugis kuno), dan berperan penting dalam membangun
tatan masyarakat dalam beberapa wilayah di Sulawesi Selatan dan kerap
menghubungkan keturunan raja-rajanya[2] berasal dari Kerajaan Luwu,
serta dianggap sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi-Selatan.
Selain itu beberapa pendapat ilmuan asing, seperti Belanda yang sepakat
mengatakan bahwa Luwu merupakan pusat peradaban bugis termasuk sumber bahasa
bugis (Ji Eun, 2011).
Dalam Encyclopedie van nederlandsch-Indie
(ENI) diungkapkan bahwa, berdasarkan hikayat lama, diperkirakan Luwu merupakan kerajaan
terbesar pada periode adab ke X hingga adad ke XIV. Kerajaan-kerajaan lainnya
di Sulawesi Selatan mengakui bahwa kedatuan ini merupakan kesatuan pemerintahan
yang tua. Atas dasar itu Abdurrazak Daeng Patunru menyatakan bahwa kerajaan Luwu
telah berkembang 300 tahun sebelum terbentuknya kerajaan Gowa dan Bone.
Informasi ini tampaknya diperkuat juga oleh david bulbeck dan baygo prasetyo
yang menyatalan bahwa”zaman I La Galigo merupakan puncak keemasan bagi luwu,
yaitu abad ke x sampai abad ke xiv masehi ..” pernyataan ini sesungguhnya
berhubungan dengan periode pemerintagan para dewa dalam kisah sejarah Luwu,
sebelum terbentuknya kerajaan simpurusiang (Edwar L. polinggomang, 2006,174).
Tanah Luwu
mempunyai kekayaan hasil hutan yang melimpah, seperti damar, rotan, kayu-kayu
yang berkualitas baik, sagu, bambu dan masih banyak lagi. Dan hasil bumi
seperti biji besi[3]
dan emas sangat digemari karena mutunya yang tinggi. Pada masa Datu
Simpurusiang, aktitas perdagangan sudah mulai dilakukan dengan daerah-daerah
lain di sulawesi selatan, bahkan sampai ke jawa, khususnya singasari dan
majapahit, berdasarkan sumber tertulis yang
berasal dari kitab Nagarakertagama karya Mpu Pranca (1365) dari kerajaan
Majapahit menyebutkan.
“Murwah tanah
1 Bantayan pramuka Bantayan ke luwuk adamaktrayathi
Mikanang sanusaaspupu! Ikang sakanusa
Makassar, batun, Banggawi,
Kuni craliyao mwangi (mg), selaya, sumba
(ni)” (pigeyaut, 1962.)
nama Luwu dalam keterangan tersebut
merupakan sebutan dari suatu daerah tempat penghasil bahan baku logam dalam
pembuatan senjata-senjata pusaka, dan dikenal memiliki kualitas yang bagus
dalam pembuatannya yang kemudian dikenal dengan “pamor luwu”. Aktifitas
perdagangan Luwu terus berkembang bahkan sampai di negara Sampai ke Cina.
Sejak
berdirinya Kejaaan Luwu, pusat-pusat kerajaan atau yang biasa disebut Ware’
sering berpindah-pindah, diperkirakan berpindah selama enam kali.
1.
Ware’
1. Bertempat di daerah Ussu (sekarang termasuk wilayah kabupaten Luwu Timur),
Masa ini diyakini juga sebagai masa berkuasanya keturunan dewa-dewa yang
dipercaya sebagai cikal-bakal dan berdirinya kerajaan di Sulawesi-Selatan.
2.
Ware’
2. berlangsung sekitar awal abad ke XIII. Fase ini dikenal sebagai periode Lontara.
Pada masa ini telah berkuasa Simpurusiang.
3.
Ware’
3. berlangsung sekitar awal abad ke XIV pada masa pemerintahan Anakaji. Ware
dipindahkan ke Mancapai, dekat Lelewawu sebelah selatan danau Towuti.
4.
Ware’
4. Berlangsung sekitar adab ke XVI Masehi pada masa pemerintara Dewa Raja.
Memindahkan ke Kamanre di tepi sungai noling, hal ini dikarenakan perebutan
wilayah Cenrana antara Bone dan Luwu.
5.
Ware’
5. Berlangsung sekitar abad ke XVI Masehi. Pada periode ini diperkirakan We Tenrirawe
berkuasa dan beliau memindahkan pusat kerajaan ke Pao wilayah Pattimang-Malangke.
6.
Ware
6. Berlangsung pada awal abad ke XVII pada masa pemerintahan Patipsaung. Pusat
kerajaan dipindahkan ke wara (sekarang lebih dikenal dengan nama Palopo).
Menurut beberapa sumber klasik, ware’ mengalami perkembangan yang cukup pesat
setelah Kerajaan Luwu pindah dari Malangke dan
menjadi Palopo sebagai pemukiman awal masyarakat pada era pra Islam yang
berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam, hal ini ditandai dengan
dibangunnya Mesjid Djami dan dalam kemudian berganti nama menjadi kota Palopo (Ji
Eun, 2011). Sumber lain menyebutkan setelah pertikaian yang terjadi antara Patiapassaung
dengan Patiaraja, maka baginda berusaha keras meratakan faham Islam ke seluruh
pelosok kerajaan, untuk menyesuaikan keadaaan tersebut, baginda pun memindahkan
ibu kota kerajaan ke Palopo. Dan mulai menyempurnakan bagian-bagian mesjid,
sebab mesjid yang indah memyebabkan hati kaum muslimin khusuk, beribadat kepada
Allah SWT (Moh. Natsir, 1962,81).
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao), Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Disebutkan
raja pertama yang mendirikan Kerajaan Ware’ (luwu) disekiatr Kampung Ussu bernama
Batara Guru. Ia digambarkan seorang anak laki-laki tertua To Palanroe, maha
dewa di langit, nama lainnya ada patotoE. Maka diutuslah Batara Guru ke bumi
karena bumi atau dunia tengah amat gelap gulita dan sepi.
“Bersabdalah
Sang Pencipta: “Sangiyangpajung,
Rumamakkompong telah tiga hari aku tak menampakan kalian, balairung sepi”. Rukellempoba dan Rumamakkompong
berdatang sembah: “ampun, tuanku! Kami
datang dari tengah cakrawala, melakukan di sana permainan orang langit:
menyambung petir, kilat, guntur dan halilintar di atas dunia bawah. Amatlah
gelap gulita dan sepi di sana. Kami tidak mendengar pujian-pujian yang
dipanjatkan ke langit atau dipersembahkan turun ke pertiwi. Baiklah kiranya
tuanku menempatkan cucu tuanku di dunia tengah, agar tak hampa dan ada pula
cahaya di sana. Apalah arti Dewata apabila tak ada manusia yang menyembah
langit dan pertiwi” sang pencipta membenarkan apa yang dikemukakan kedua
pramunbaktinya itu. bagindapun masuk mendapatkan permaisurinya. Datu Palinge untuk
membicarakan gagasan itu, Datu Palinge menyetujuinya. ..... maka jatuhlah
pilihanya pada Batara Guru, yang terpuji.. demikianlah usul Datu Palinge yang
disetujui oleh suaminya Sang Pencipta ” (R.A. Kern,1993: 20-21).
Maka
diturunkalah Batara Guru (Datu 1) di sebuah negeri bernama Ware’ atau Luwu atau
lebih tepatnya disekitar Kampung Ussu, yang kemudian mendirikan Kerajaan Ware’(Luwu).
Batara Guru kemudian menikah dengan We Nyili Timo. Dari pernikahan inilah lahir
Batara Lattu. Batara Guru mempunyai dua orang selir yang bernama We Saungiriu yang
melahirkan tiga orang anak yang bernama Lampanguriseng Toappananrang,
Leleuleng, dan Sangiang Serri. Tetapi putri ini mati muda, ditempat ia
dikuburkan tumbuhlah padi dan menjadi padi pertama di luwu. Selir kedua bernama
Leleuleng dan memperoleh dua orang anak bernama Datu Maoge dan Letemmalolo.
Batara Lattu
(Datu 2) kemudian menjadi Raja/Datu menggantikan ayahnya karena Batara Guru
bersama istrinya telah naik ke langit. Ia mengambil alih pemerintahan dan
kemudian menikah dengan We Datu Sengngeng, putri dari Raja Turu’belae dari Tompo’tikka.
Dari penikahan ini lahirlah anak kembar yang berlainan jenis. Seorang laki-laki
yang diberinama Sawerigading dan yang perempuan diberi nama We Tenriabeng.
Namun sejak kecil kedua kakak beradik ini dipisahkan hal ini dilakukan guna
menghindari mereka saling jatuh cinta. Setelah beranjak dewasa sawerigading
berkelana ke perbagai Negeri di bumi.
Dan
pada suatu hari ia bertemu dengan saudara kembarnya yakni We Tenriabeng, ia pun
jatuh hati kepada adik kembarnya. Tetapi hal itu dilarang oleh orang tuanya
karena merupakan suatu pemali. Atas
saran dari adiknya. Sawerigading pun pergi berlayak ke Cina untuk nikah dengan
seorang putri di negeri Cina yang bernama We Cu Dai. Yang wajah dan karakternya
hampir sama dengan We Tenriabeng, karena sakit hati Sawerigading pun pergi ke
negeri Cina dan berikrar untuk tidak kembali lagi ke tanah Luwu. Dalam
perjalannya ke Cina berbagai rintangan ia hadapi dan akhirnya ia bertemu dengan
We Cu Dai dan menikah, setelah itu Sawerigading pulang kembali ke tanah Luwu,
namun kedatangannya disambut dingin ayahnya dan para hadat luwu. Oleh karena ia telah melanggar sumpahnya. Sawerigading
pun menjadi seorang pengembara. Sawerigading mempunyai dua orang dari We Cu Dai,
yaitu I La Galigo dan Patiangraja. Pada masa itu kerajaan tidak memiliki
seorang raja selama kurang lebih dua abad. Sedangkan Batara Lattu dan istrinya
pun pergi ke dunia bawah.
Sementara
itu saudara kembarnya We Tenriabeng menikah dengan La punnalangi’ dan mempunyai
seorang anak bernama Simpurusiang. Setelah cukup dewasa Simpurusiang (Datu 3) menjadi
Datu di Kerajaan Luwu, ia kemudian menikah dengan anak perempuan dari Sawerigading
bernama Patiangjala. Dan mempunyai tiga orang anak yaitu Anakaji, Lakipadada[4] dan Arung Malasa “Ulie”.
pada masa pemerintahan Simpurusiang telah terjalin hubungan perdagangan pada
kerajaan-kerajaan di jawa seperti kerajaan Singasari dan Majapahit yang
tercatat dalam kitab Nagaraketagama.
Hasil bumi yang banyak terkenal ialah biji besi, bahkan diperjual belikan
sampai kamboja dan cina.
Setelah masa pemerintahan Simpurusiang
berakhir, maka ia digantikan oleh anaknya yang pertama bernama Anakaji (Datu 4).
Anakaji menikah dengan seorang bernama
Tappacina yang merupakan permaisuri dari Kerajaan Majapahit dan
mempunyai seorang anak bernama Tampa Balusu. Dan menghadiahkan kepadanya
sebidang tanah yakni wilayah cenrana. Kerajaan Luwu pada masa pemerintahan
Anakaji belum ada yang menyaingi. Bone dan Gowa pada masa itu (abad ke-13) baru
mulai menata kerajaan masing-masing dan sangat sempit. Maka kerajaan baru itu
menjalin hubungan yang sangat erat, kalau Kerajaan Luwu bersifat agraris maka Kerajaan
Gowa bersifat maritim. Pada masa pemerintahan Anakaji pusat Kerajaan Luwu dipindahkan
ke Mancapai. Pusat kerajaan itu berada disebelah selatan Danau Towuti, dengan
demikian terdapat dua pusat peniagaan Luwu yaitu teluk Ussu dan Teluk Lelewau.
Pelabuhan Ussu tetap dipertahakan sebagai pusat ekonomi kerajaan sedangkan
Mancapai hanyalah pusat kerajaan semata, perangkat hadat dan pemimpin pasukan
kerajaan berada di ware’ Mancapai. Malangke, Pao dan Pattimang dijadikan
sebagai pusat pembuatan perahu. (Rizal A. Latif, 2007, 2-3).
Tampa Balusu
(Datu ke 4) kemudian mengantikan ayahnya memenang tapuk pimpinan Kerajaan Luwu.
Tampa Balusu menikah dengan seorang putri bernama Daowe. Dari perkawinan mereka
lahirlah Tanra Ballusu (Moh. Sanusi, 1962, 54). Tanra Balusu menggantikan
ayahnya menjadi Raja Luwu (Datu ke 5). ia menikah dengan seorang putri dari
keluarganya sendiri, dari perkawinannya lahirlah empat orang anak yaitu
Tompanange, Datu Riwawo, Lamariawa, dan Datu Pinra. Selama masa pemerintahannya
kerajaan tetap stabil dengan memperkuat kerjasama antara kerajaan Majapahit.
Pusat-pusat ekonomi yang telah dirancang ayahnya diselesaikan oleh Tanra Balusu
seperti pelabuhan Pao dan Teluk Mengkongga. Pedagang yang datang ke Luwu tidak
hanya dari Jawa, melainkan juga dari melayu bahkan tidak mustahi pula ada dari Cina
Selatan dan Persia. Putra Tanra Balusu yang pertama yaitu Tompanange (Datu ke 6)
menjadi raja, ia dikenal sebagai Datu Luwu yang gemar berlayar bahkan sampai ke
Gowa. Ia menikah dengan seorang puteri dari keluarganya sendiri dan mempunyai
enam orang anak yaitu, Ajiguna, Dewaraja, Batara Guru, Ajiria, Sangaji Raja dan
Rajengpuja. Pada masa pemerintahannya semakin banyak pedagang yang datang ke Luwu
karena semakin beragam barang yang diperdagangkan seperti hasil hutan berupa
damar, rotan, bambu, kayu olahan, hasil laut seperti teripang dan
kerang-kerangan, dan hasil tambang terutama besi dan emas yang mempunyai
kualitas yang tinggi. (Rizal A. Latif, 2007, 4).
Batara
guru (Datu ke 7) merupakan putra ketiga dari Tompanange. Batara guru dipilih
karena ayahnya dan rakyat sangat senang dengan batara guru karena sikapnya yang
baik, tidak sepeti saudaranya yang lain. Makam batara guru diangkat menjadi
raja. Ia menikah dengan Datudewakang dan mempunyai dua orang anak yaitu
Daturisaung dan Erangga. Bersamaan dengan itu muncul pula Raja Gowa yang
bernama Batara Gowa di Gowa dan Batara
Wajo yang berkedudukan di Tosora. Ketiga kerajaan tersebut mengikatkan diri
dalam tali persaudaraan (Assiajingeng).
Di bawah pemerintahan Batara Guru, Luwu semakin kuat, ia kemudian membentuk
pasukan khusus orang Rongkong mereka mempunyai keahlian mahir membuat senjata
tajam bermutu tinggi, dan sangat kebal atau tahan terhadap benda tajam.
Penduduk pegunungan juga memiliki kemahairan membuat parang dan alat pertanian.
Karena kekhawatiran Batara Guru akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke Kamanre.
Letak Ware’ yang baru ini dekat Balla-Bajo, sekitar 7 km sebelah utara.
Lamariawa[5] (Datu ke 8) menjadi raja
karena waktu itu putra mahkota masih kecil maka diputuskan oleh Hadat Luwu untuk
mengangkat Lamariawa menjadi Raja Luwu, ia tidak lain adalah paman dari Batara
Guru. Ia dikenal sangat sabar, berjiwa terbuka dan pergaulannya merakyat
sehingga disebut “Macenning Wegang”.
Pada masa pemerintahannya Luwu berada dalam keadaan damai. Setelah Daturisaung
Lebbi (Datu ke 9) dewasa, maka ia pun naik tahta menggantikan pamannya.
Daturisaung Lebbi mempunyai istri bernama Maningoe Rijarapoe dan dari
penikahannya tersebut lahir lima orang anak yaitu Maningoe Ribajo, Paroppe,
Passabengnge, Datubissu, dan Opunnarawe. Bersama pamannya ia mendalami Adat
Luwu terutama isi Lontara sikap tenang digabungkan dengan sikap keberanian
memunculkan sifat arif. Kebebasan yang diberikan raja terdahulu perlahan-lahan
mulai dikekang. Ikatan dengan pusat kerajaan Luwu harus kuat agar keamanan Luwu
terjaga. Kekuatan pasukan Luwu ditambah, kepada Raja Sangalla diminta pasukan
cadangan untuk ditugaskan di Luwu. Pasukan Rongkong, dan Raja Luwu meminta pula
Suku Mekongga agar mempersiapkan pula pasukannya. Daturisaung Lebbi lebih
sering ke Cenrana sebab timbul gejolak adanya gangguan dari Kerajaan Bone oleh
karena perebutan wilayah Cenrana.
Daturisaung
Lebbi digantikan oleh anaknya bernama Maningoe Ribajo[6] (Datu ke 10), ia menikah dengan seorang puteri dari kalangan
keluarganya, lahirlah sembilan orang anak yaitu Lasangaji, Daeng Leba, Opu To
Tajiwa, Daeng Soreang, Toleba, Daeng Mangasa, Toampenano, Daeng Macora, dan
Batara Bissu. Pada masa pemerintahannya mencapai pucak kejayaannya dan dikenal
oleh semua kerajaan utama seperti Gowa, Bone dan Wajo. Setelah itu berangsur
digeser pengaruhnya oleh Kerajaan Gowa. Luwu pun mengadakan persekutuan dengan Wajo.
Sejak jatuhnya Malaka ketangan Portugis. Gowa banyak dikunjungi pedagang Melayu,
Persia, dan India Gujarat. Maka pada tahun 1530 bandar Tallo dan Mangallekana
atau yang lebih dikenal Somba Opu bertambah ramai. Kemajuan bandar-bandar Gowa menguntungkan
Luwu. Jalur Cambay-Malaka-Maluku dirubah dan ditambahkan Makassar. Barang
dagangan Luwu dikumpulkan di bandar Makassar, dari sini dibawah ke luar negeri
jawa, seperti Melayu, Cina dan India, yang paling terkenal dari hasil buminya adalah
besi Luwu (Rizal A. Latif, 2007,9).
To
Sangkawana (Datu ke 11) merupaka kemanakan dari baginda Maningoe Ribajo. Mulai
saat dia memerintah Luwu kehilangan negeri Cenrana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan
Luwu dipindahkan ke Pattimang-Malangke, alasan pemindahan pusat kerajaan ini
dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama potensi pertaniannya yang memproduksi
sagu demi menyokong populasi besar, kedua lokasinya yang strategis di mulut
sungai Baebunta yang dapat digunakan untuk mengepakan produk dari tanah tinggi,
biji besi yang bernilai tinggi, emas dan damar yang diangkut dari jarak yang
relatif dekat dari sungai Rongkong, ketiga produksi senjata besi dan alat
pertanian di Pattimang-Malangke. Wiayah pemukian di Pattimang-Malangke
merupakan wilayah terbesar di Luwu pada saat itu, dan memperlihatkan kemegahan
mirip dengan halam istana Gowa di benteng Somba Opu pada masa itu. Sure I La Galigo, dikembangkan juga
disini dan dipindahkan ke kerajaan-kerajaan bugis lainnya`(bersama pranata bissu), sebagai bagian darin penegasan
senoritas politis Luwu di seluruh semenanjung barat daya Sulawesi.
Datu
Maoge (Datu ke 12) menjadi Raja Luwu, ia merupakan kemanakan dari To
Sangkawana. Ia kemudian menata kembali Kerajaan Luwu yang pernah terlibat
perang dengan Kerajaan Bone. Pusat kerajaan dipindahkan ke Pattimang. Pelabuhan
Ussu, Cerekang, Lalewau, Pao, Teluk Palopo dan Kolaka ramai dikunjungi
pedangang. Gowa dan Bandar Makassar di bawah kekuasaan Raja Tunipalangga (1540-1565)
makin terbuka hubungan Luwu dan Gowa juga semakin membaik pula. We Tenrirawe (Datu
ke 13) merupakan Raja Luwu perempuan pertama, ia adalah sepupu sekali dengan
Datu Mangoe, ia bersuamikan Datu Balubu dan mempunyai dua orang anak yang
bernama Patiarase dan Patiparessa. Berbeda dengan raja sebelumnya, Raja perempuan
ini memerintah Luwu dengan sikap tegas,
perdagangan yang maju mendatangkan kemakmuran, hasil bumi dari hutam rimba di
pegunungan bagaikan tidak akan habis, meskipun barang yang diperdagangkan banyak,
namun hasil bumi tetap banyak dihasilkan penduduk. Perahu tipe Lambo dan Pajala mondar-mandir di pelabuhan Luwu ke bandar Gowa, sebagian
lagi sampai Wajo dan Bone.
Namun
nilai-ujian kebenaran di Kerajaan Luwu mulai terganggu yaitu tiga pilar utama Adele, Lempu dan Tongeng. Dari sini hadirlah seorang yang bijaksana bernama To Ciung yaang kemudian merumuskan MaccaE ri Luwu.
Patiarase[7] (Datu ke 13) merupakan
putra dari We Tenrirawe. Ia mempunyai seorang istri bernama Karaengnge Riballa
Bugisi, ia adalah seorang putri dari Kerajaan Gowa yang juga merupakan kakak
sulung Sultan Alauddin. Mereka pempunyai tiga orang anak yaitu Patiangjala bergelar
Somba Opu, Patipasaung, dan We Tenrisiri Somba Baine. Ia merupakan Datu Luwu yang
diislamkan untuk pertama kali. Dan mempunyai nama Islam Sultan Muh. Waliul
mudaruddin. Pusat pemerintahan Ware masih berada di Malangke atau pattimang,
tempat strategis ini diapit oleh dua pelabuhan yaknni Teluk Palopo dan Teluk
Ussu. Tekuk palopo merupakan tekluk nelayan kerajaan palili penting di Luwu yakni Bua. Perahu dagang biasanyan singgah
di Bua sebelum membuang sauh di Malangke.
Patipasaung[8] (Datu ke 14) walaupun ia
anak ke dua tetapi dialah yang dinobatkan sebagai raja karena sifatnya yang
baik dan disukai oleh ayahnya dan rakyat. Naiknya Patipasaung menjadi Datu Luwu
menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Malangke. Beberapa petinggi istana
yang mendukung Patiaraja menolak keputusan adat yang menaikan sang adik. Dan
akhirnya Patiaraja meninggalkan Malake menuju bekas pusat kerajaan luwu di Kamabre.
Ia mendapat dukungan dari Kemadikaan Ponrang, rakyat Cilellang, Bajo, Noling sampai
Laropang menerima Patiaraja dan pada akhirnya Patiaraja mengumumkan sebagai Datu
Luwu. Lalu kemudian Kerajaan Luwu terpecah menjadi dua. Wilayah kekuasaan Patipasaung
terbentang dari Baebunta sampai Poso. Sedangkan wilayah kekuasaan Patiaraja di Kamanrea,
termasuk didalamnya Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotengeng. Tetapi
Kemadikkaan Bua berusaha untuk netral. Pada tahun 1616, pecahlah perang saudara
diantara mereka yang awalnya dimulai dari Patiaraja, tahun berikutnya diambil
alih Patipasaung. Lama kelamaan menjadi perang antara Baebunta dengan sekutunya
melawang Ponrang. Atau biasa disebut perang utara dan selatan. Perang ini
diperkirakan berlangsung selama empat tahun lamanya. Setelah dirasakan kedua
belah pihak tidak ada yang memenangkan perang. Mucul ide Maddika Bua untuk
mengupayakan pertemuan mereka. Pada tahun 1619 mereka dipertemukan dan atas
nasehat-nasehat yang diucapkan Maddika Bua akhirnya mereka kembali berpelukan.
Pada tahun 1619 sepeninggal Patiaraja ke Gowa, Kerajaan Luwu bersatu kembali. Patipasaung
kemudian memindahkan pusat kerajaan Luwu ke Palopo yang termasuk wilayah Maddika
Bua. Ketika itu penguasa Ponrang, Bua dan Baebunta dikukuhkan menjadi pilar
utama Luwu yang bernama Ana’ Tellu. yang di koordinir Bua (Rizal
A. Latif, 2007:19-22).
Raja Luwu
menata kembali struktur pemerintahan, kedudukan Kadhia menjadi sangat penting.
Perpindahan pusat Kerajaan Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan pendirian se buah
mesjid megah. Bangunannya amat kokoh dan memiliki bentuk yang cukup unik yang
diberi nama Mesjid Djami’. Mesjid ini memiliki tiang agung terbuat dari kayu
yng sangat kuat dan keras. Tukang ahli yang membuat menara bernama Pongke
Mante’ yang didatangkan langsung dari Makale. Konon tukang pahat batu
pekerjanya ada empat puluh orang. Setiap tukang pahat dibantu oleh tukang asah
sebanyak empat puluh orang. Tidak kurang dari seribu orang setiap harinya
terlibat dalam penyelesaian bangunan mesjid ini. Kayu yang digunakan sebagai
tiang agung berasak dari cinaguri.
Mesjid Djami yang dibangun pada tahun 1604 oleh sebagian masyarakat Luwu dinyatakan
sebagai pusat Palopo. Sekitar empat puluh depa dari Mesjid Djami dibangun pasar
kerajaan, istana kerajaan datu juga berjarak 40 depa dari Mesjid Djami. Jarak
pasar dengan istana datu sekitar 80 depa. Antara ketiga bangunan itu adalah
lapangan atau biasa disebut alun-alun. Patipasaung dua kali beristri, dari
permaisuri yang bernama Petta MatinroE Rijuddah, lahir dua oranh anak yakni
Petta MatinroE ri Gowa dan Petta MatinroE Rabini. Dari permaisurinya yang
bernama Datu Wittoeng, lahir lima anak yakni Opu Peso, Opu Totimo, Opu Mangile
dan Opu Daeng Makulle.
Petta
Matinroe ri Gowa[9]
(Datu ke 15) merupakan anak pertama Patiapasaung yang menggantikannya sebagai
raja. Ia menikah dengan Opu Daeng Masalle dan dianugerahi dua orang anak yaitu
Settiaraja dan Opu Pawelai Luminda. Pada masa pemerintahannya Gowa masih di
bawah pemerintahan Sultan Alauddin yang masih kakeknya sendri. Waktunya lebih
banyak dihabiskan di Gowa membantu penetaan dan perluasan kerajaan kakeknya.
Bantuan yang diberikan berupa kayu ramuan diangkut dari Ussu, Cerekang, Pao, Lelewau,
Kolaka dan Palopo. Karena kegiatan Raja Luwu sering di Gowa, ia pun wafat di Somba
Opu. Setelah ayahnya meninggal, anaknya settiaraja[10] naik tahta (Datu ke 16
dan ke 18) semasa remajanya banyak dihabiskan di Gowa. Settiaraja adalah
seorang panglima perang yang banyak memiliki ilmu-ilmu perang. Sejak memerintah
menjadi Datu Luwu, ia pun mengikuti kebiasaa ayahnya yang lebih banyak
menghasbiskan waktunya di Gowa. Karena kurangnya waktu di Luwu, maka
musuh-musuhnya di Ware berpeluang untuk melakukan kudeta kerajaan. Settiaraja tidak
sadar bahwa sepupunya yakni Petta matinroE ri Polka berambisi untuk menjadi Datu Luwu. Sebulan
meninggalkan Luwu, Settiaraja dihianati oleh sepupunya. Ia dan semua pejabat
kerajaan meninggalkan istana dan pergi Gowa.
Akhirnya
Petta MatinroE ri Polka (Datu ke 17) naik tahta secara diam-diam dari hasil
kudeta yang dilakukan pada Settiaraja sewaktu settiaraja pergi ke Gowa untuk
membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Dan untuk kedua kalinya Settiaraja naik
tahta setelah merebut kembali kerajaan dari tangan raja sebelumnya. Settiaraja
menikah dengan keluarga Opu Datu[11] dari perkawinan tersebut
lahir dua orang anak bernama Patipatau Topalaguna Opu Toleba[12] dan Etenriummu[13]. Semasa pemerintahannya ia
meneruskankan pembangunan kota Palopo, mesjid raya dan membangun makam Lokkoe yang
berbentuk piramid untuk makam raja-raja Luwu dipiggir kota Palopo (Moh. Sanusi,
1962,56-57). Topaguna (Datu ke 19) yang tidak lain adalah putra sulung Raja
Settiaraja menjadi raja, pada saat ia naik tahta usianya sudah tua. Ia menikah
dengan Datu Tanete, mereka mempunyai seorang putri bernama Batari Tungke. Pada
masa pemerintahannya luwu kembali makmur dan dihormati. Hal ini menyebabkan
banyak bangsawan Bone, Wajo dan Soppeng datang ke Luwu untuk berdagang. Batari
tungke[14] (Datu ke 20). Baginda
bersuamikan Patta MatinroE ri Suppa. Dari hasil perkawinannya lahir dua orang
anaknya yaitu We Tenrilelang[15] dan Latenrioddang[16]. Beliau gugur dalam
pertempuran antara Bone dan Wajo, ketika itu Wajo tampil melawan Belanda yang
dibantu oleh Bone, Luwu membantu Bone dalam peperangan itu. We Tenrileleang
diangkat menjadi Arung panca. Suatu daerah dekat Tanete Barru, maka darah
keturunan Luwu telah sampai ke kerajaan tepi barat selat Makassar, yakni di Suppa
sampai Tanete (Risal A. Latif, 2007;26).
Batari
Tojang[17] (Datu ke 21). Baginda
Batari Tojang adalah raja perempuan sangat terkenal dalam sejarah raja-raja Sulawesi
Selatan, karena beliau pernah mempunyai tiga kerajaan sekaligus. Datu di Luwu, Mangkau
(raja) di Bone, dan Datu di Soppeng. Karena ia ingin mempunyai keturunan makam
baginda 7 kali bersuami akan tetapi sampai mangkatnya dia tidak memiliki
keturunan. We Tenrileleang(Datu ke 22 dan ke 24), ia merupakan putri Batari Tungke.
Beliau dua kali bersuami yang pertama bernama Lamapasali Datuk Patojo[18] dan mempunyai dua orang
anak We Tenriabeng Datu ri Wawo dan La Pancaji
Datu Soppeng Petta matinroe ri Sapirie. Karena derajat suaminya tidak sepadan
dengan beliau/derajat istrinya lebih tinggi jika dibandikan dengan suaminya,
maka saudara We Tenrileleang, yakni Latenrioddang membunuhnya. Baginda pun
menikah lagi dengan sepupunya yang memiliki derajat yang sama yaitu La
Mallarangeng Petta Matinroe ri Sapirie. Dari pernikahan keduanya, lahir empat
orang anak yaitu, We Panagngarang daTu Mario ri Wawo[19], Wetenriawakkang Datu Ribakke[20], La Tenrisessung Cenning ri
Luwu, dia kemudian diangkat sebagai Arung Panca dan yang terakhir La Maddusila,
dia diangkat menjadi Arung Tanete.
Peristiwa
pembunuhan suami We Tenrileleang mengakibatkan kekacauan politik didalam
istana, kaun adat sempat berkumpul, berlanjut dengan ketidak percayaan ke pada We
Tenrilelang, akhirnya Hadat Dua Belas mengangkat Lakaseng[21] (Datu ke 23) menjadi Datu
Luwu. ia merupakan saudara sebapak dengan We Tenrileleang. Lakaseng menikah
dengan dengan We Sauda Datu Pacciro dan memiliki anak Lateripeppang[22]. Selama lima tahun
pemerintahannya Luwu dalam keadaan tenang. Sadar akan dirinya sewaktu-watu akan
diganti maka, maka anaknya (Opu Cenning) dititipkan pada Raja Luwu. Opu Cenning
kemudian diterima dengan senang hati, sebab ia adalah keponakan We Tenrileleang.
Setelah keadaaan pulih kembali,
We
Tenrileleang kembali menjadi Raja Luwu. Karena We Tenrileleang tidak
mempersiapkan anaknya[23] untuk menjadi Raja Luwu maka
digantikan oleh kemanakannya sendiri yaitu La tenripeppang (Datu ke 25), ia
menjadi Datu Luwu. Ia menikah dengan putri Sangalla Puang Sairi’na. Dan ia juga
menikah dengan puteri wajo. Namun perkawinan yang dilakukan keduanya merupakan
bagian dari strategi politik, agar kedua negeri tersebut tetap menjalin
persahabatan dengan Luwu. Kekuasaan Datu
La Tenripepang sangat dihormati oleh negeri tetangga, Kerajaan Luwu bertambah
kuat mulai dari Toraja hingga Poso. Wilayah poso, kediaman Suku Pamona tetap
patuh yang secara tradisi atau turun temurun tunduk kepada Wotu yang dikepalai
oleh Macoa Bawa Lipu. Meskipun anaknya cukup banyak tetapi yang diberi status
adat selaku Ana’Mattola hanya We
Tenrirawu, puteri Datu tersebut dengan senndirinya diangkat menjadi Opu cenning
di Luwu. (Rizal A. Latif. 2007; 28).
We
Tenriawaru[24]
(Datu ke 26) naik tahta dan baginda bersuamikan Mappaapoleonro dan mempunyai
seorang 15 orang anak namun hanya dua yang terkenal yaitu, Laoddang Pero dan
Petta MatinroE ri Tamalullu. Warisan Kerajaan Luwu yang tenang, damai dan
makmur diterima oleh raja perempuan ini. Darah Luwu melebar dalam istana
kerajaan di Sulawesi Selatan. Penduduknya hidup berkecukupan, kebanyakan suku
atau anggota masyarakat kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan telah menjadi
penduduk Luwu. Pada tahun 1814 Residen Philips yang berkedudukan di Makassar mengunjungi
Datu We Tenriawaru atas nama Gubenur General Thomas S. Raffles di Bogor, residen
menganugerahkannya pending emas. Pending emas itu diserahkan dalam bentuk
upacara yang unik, berupa bentuk latihan fisik mental yang dijalani oleh Datu
We Tenriawaru.
Prosesi
upacara pelaksanaan ini[25], diharuskan Datu Luwu menjalani
penderitaan selama tujuh hari tujuh malam, dengan memakam yang paling sederhana
seperti pisang, keladi, umi. Dan ia hanya menggunakan pakain kain sederhana
yang tidak dijahit, alas pengganti tikar terbuat dari daun kelapa, tidak ada
atap, jika hujan dan panas terik matahari harus ditahan. Dan masih banyak lagi
penderitaan lahir dan batin. Selama
proses tersebut ia dijaga oleh anggota Hadat Dua belas. Dan untuk
sementara ia digantikan Opu Cenning dalam memimpin kerajaan selama masa itu.
Akhir dari penderitaannya ia pun di dilantik pada tahun 1841 dengan pembuatan
Pajung[26] Kebesaran Luwu yang
dilakukan bersama-sama, dan ia pun nobatkan sebagai Pajung Maharaja Luwu. Sejak
saat itu penduduk Ware’ menganggap bahwa segala ucapanya harus dituruti dan
memerintah dengan penuh kewibawaan. Pajung Luwu di gelari To RisompaE(dia yang
dipuja). (rizal a. Latif, 2007;28-29).
Laoddang
Perro[27] (Datu ke 29) merupakan
putra dari datu sebelumnya, selama masa pemerintahannya, luwu tetap bersekutu
dengan Bone. Ia menikah dengan Andi Habiba. Dari hasil perkawinannya lahirlah
anak bernama Patipatau Toampanyompa. Menjelang naik tahta di Luwu, bersamaan
dengan tibanya pejabat tinggi belanda di Makassar yaitu Van Der Capellen (1824)
dan pada tahun itu juga tiba lagi Mr. Tobias dari Batavia untuk mendampingi
Gubernur Celebes Kol. KL. Van Schelle. Kedatangan penjabat tinggi ini bertujuan
untuk memperbaiki hubunga dengan Belanda, namun kehadiran dua pejabat tinggi Belanda
itu disambut dingin oleh raja-raja di Sulawesi Selatan dan pada puncaknya pecah
perang antara Bone dengan Belanda. Sinjai dan Bulo-bulo melawan Belanda. Luwu
memberikan bantuan kepada Bone dan Sinjai dengan memberikan tempat pengungisan
bagi rakyat Bone di Cimpu dan Baramamase dan di sinjai di malili.
Putra
Laoddang Pero yaitu Patipatau Toampanyompa[28](Datu ke 30) naik tahta
menggatikan ayahnya, ia menikah dengan Andi Wanrudapanangngareng. Dari
perkawinannya lahir dua orang putri bernama Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa[29] dan Andi Gau Opu Dareng
Tocoa. Pada masa pemerintahannya Luwu dalam keadaan aman, keadaan perang di
wilayah Bone dan Sinjai telah berakhir. Sehingga memberikan pengaruh terhadap
hasil bumi Luwu menjadi semakin di minati pedangan dari Makassar, Bone, Wajo dan
Sinjai. Gubernur Celebes J.A.Bakker berkunjung ke Ussu yang merupakan bekas
kerajaan Batara guru sampai Simpurusiang (abad ke 10-12). Tujuan utama
kunjungan ini ialah memantau jalur perdagangan damar di hulu sungai ussu[30]. Luwu dinilai sebagai
kerajaan yang paling sulit di perintah.
Petta
MatinroE Tamalallu[31] (Datu ke 31) merupan
putra dari We Tenriawaru dan merupakan paman dari raja sebelumnya. Ketika naik
tahta, ia sudah cukup tua. Ia dikenal sebagai guru silat dan ahli kebatinan.
Pemerintahan sepenuhnya dikendalikan dan dijalankan oleh Pakkatenni Ade’ yang
dipimpin Opu Patunru, bersama Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng dan Opu
Balirante. Gaya pemerintahanya yang arif dan penuh kasih sayang dinilai Belanda
sebagai pemerintahan gaya wanita. Hasil bumi Luwu diperdagangkan seperti sagu,
rotan, kopi, lilin, kayu nibong, kulit kerang, teripang, dan bingkaru.
Masyarakat Luwu memakai ujian tukar uang Petes
Cina (rizal A. Latif, 2007;30).
Iskandar Opu Daeng Pali[32] (Datu ke 31).merupakan
kemanakan Opu Anrong Guru. Masa pemerintahannya sejaman dengan Gubernur Celebes
bernama D.F. Van Braam Morris. Dalam masa pemerintahanya ia mengusahakan agar
Luwu tidak terlalu banyak terikat pada Belanda maka pada tanggal 15 sepetember
1887 ia memutuskan kontak dengan pemerintah Hidia Belanda. Hal ini membuat Belanda
menyalahkan Bone karena dianggap terlalu lemah dan bahkan menghasut luwu untuk
menentang Belanda. Pelabuhan Makassar yang dikuasai Belanda tetap ramai,
perdagangan bertambah maju, hal ini pun ikut berimbas pada pelabuhan Palopo yang
kedatangan 12 kapal bertiang tiga pada bulan maret dan april. Penghasilan Palopo
setiap tahun sekitar f. 15.000. hak istimewa pun diberikan kepada orang
Rongkong dengan memberi status otonom
agar longgar dari kekuasaan Baebunta dengan memberi tugas untuk menjaga
keselamatan Istana.
Andi kambo Opu Daeng
Risompa[33] (Datu luwu ke 33)
merupakan puteri dari raja Patipatau Toampanyompa. Ia menikah dua kali, yang
pertama Andi Tenrilengka gelar Opu Cenning, dari hasil perkawinannya lahirlah
Andi Luwu Opu Daenna Patiware[34] dan Andi Patiware atau
lebih dikenal dengan nama Andi Jemma. Suami kedua baginda yaitu Andi Baso
Lampulle Opu Tosapaile[35]. Pernikahan keduanya ini
tidak memiliki keturunan. Lima tahun setelah naik tahta, sulawesi-Selatan teracam
perang. Pada tahun 1905 Gubernur Jendaral Belanda di Batavia memaklumkan perang
total. Hal senada pun dilakukan Gubernur di Celebes Van Heutz, hal ini
dilakukan karena Raja-raja yang ada di Sulawesi tidak dapat diperintah dan
adanya keinginan Belanda menguasai hasil bumi Kerajaan Luwu[36]. Belanda memaksa Datu
Luwu untuk menandatangani Korte
Verklaring (Penjanjian pendek). Tetapi Datu Luwu menolaknya. Sehingga pada
masa pemerintaha Datu Luwu inilah terjadi banyak pertempuran yang hebat dengan Belanda.
Seperti pertempuran yang terjadi di Balandai dan PonjalaE yang mengakibatkan
gugurnya Andi Tadda Opu Tosangaji dan To Ijo, gugurnya kedua pemimpin itu
menbuat Datu Luwu menandatangani perjanjian tersebut. Meskipun perjanjian telah
ditanda tangani upaya belandah memperkokoh kekuatanya di tana luwu tidaklah
muda, sejumlah perlawanan diperlihatkan rakyat Luwu seperti Makole Baebunta
yang di pimpin Makole Baebunta Opu Topewennei. Di Tana Toraja perlawan di
pimpin oleh Pong Tiku, di utara kota Kolaka juga terjadi perlawanan yang di pimpin
Haji Hasan dan Tojabi. Dan Andi Baso yang tidak lain adalah suami kedua Datu
Luwu. Beliau mangkat pada tahun 1935 (Rizal. A. Latif, 2007;32-38).
Andi Jemma (Datu ke 34 dan
36). Merupakan putra Kambo Opu Daeng Risompa. Pada saat pemilihan Datu, ada dua
kandidat calon Datu Luwu yaitu Andi Baso Lanrang yang berasal dari Balla Bajo
dan Andi Jemma. Tetapi pada akirnya Andi Jemma dinobatkan sebagai Datu Luwu.
Andi Jemma tiga kali menikah, yang pertama dengan Andi Kasirang, mempunyai satu
orang anak bernama Andi Makkulau Opu Daeng Paebba. Istri kedua bernama Intang
Daeng Mawero, lahir tiga anak yaitu Andi Ahmad, Andi Nuhung dan Andi Iskandar
dan dari permaisurinya Andi Tenripadang gelar Opu Datu[37] lahir seorang putra
bernama Andi Alamsyah. Masa pemerintahannya dipenuhi dengan perlawan, bersama
pemuda-pemuda dan seluruh rakyatnya melakukan perlawana terhadap belanda
terutama pada saat menjelang proklamasi dan juga melakukan perlawanan terdapat
pendudukan Jepang di Tana Luwu (Moh. Sanusi, 1962;60). Andi jelling (Datu ke
35) merupakan paman dari andi jemma dan atas perintah Nica ia kemudian diangkat
menjadi Datu Luwu. Setelah itu untuk kedua kalinya Andi Jemma menjadi Datu Luwu.
2. Sistem
pemerintahan Kedatuan Luwu
Dalam Kerajaan
Luwu, ada dua golongan yang boleh menjadi Datu, yakni golongan “anakmattola” atau “anakangileng”. Pengangkatan seorang Datu dalam Kerajaan Luwu,
haruslah dari keturunan Raja-raja yang memiliki derajat tersebut. Akan tetapi
tidak boleh sekali-sekali “anakangileng” menjadi
Datu jika masih ada “anakmattola”,
kecuali dalam hal yang sangat penting, seperti yang terjadi pada zaman
pemerintahan baginda Patipassaung. Jika aturan itu dilanggar, maka dapat
menimbulkan kekacauan yang hebat dalam kerajaan. Jika kebetulan tidak terdapat
“anakmattola” atau “anakangileng”,
maka calon Datu harus di cari di Kerajaan Soppeng, Bone dan Wajo. Dan jika
tidak terdapat seorang pun “anakmattola” atau “anakangileng”
maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh pangandaran (kabinet) dan
yang bertidak sebagai kepala pemerintahan ialah Opu Patunru (Perdana Menteri).
Kepala
pemerintahan Kerjaan Luwu di sebut Datu atau Pajung, namun ada perbedaan antara
Datu dan Pajung, yang boleh menjadi Pajung
hanya Datu. Seorang Datu tidak mudah memperoleh gelar Pajung, sebab ada
syarat-syarat yang harus dilakukan yang pertama, ia harus mempunyai pengalaman
yang cukup dalam kedatuannya dan yang kedua ia harus menempuh ujian yang berat[38] di suatu tempat yang
bernama “Tanah Bangkala” sesudah ia lulus barulah datu dinobatkan sebagai
Pajung.
Sejak
masa pemerintaha Datu pertama sampai ke 13, bentuk pemerintahan kerajaan luwu
bersifat Absolut Monarchie, artinya kerajaan yang bersifat mutlak kekuasaannya dan
tidak terbatas. Semuanya berada dalam kekuasaan Datu dan tidak boleh dibatah
atau disanggah, semua ornag harus tunduk dan patuh kepada segala perintah dan
kemauan datu. Bentuk dasar hukum dari kekuasaan tersebut yaitu
1.
“Naiyyaa datue, matukkuului, namatukkuaje,
tennawellangesso. tennairiaging”
Maksudnya: Datu atau Pajung, tidak
boleh diwajibkan melakukan sesuatu tugas, akan tetapi ia hanya berhak melakukan
apa saja keinginannya, yakini duduk diatas singgasana raja dan memerintah apa
saja yang ia kehendaki.
2.
“Puakko siyo kiraukkaju riakommiri riakkeng
teppa. mutappalireng”
Maksudnya: sesungguhnya engkau Raja,
dan kami “daun kayu” kemana saja bertiup, disanalah kami terdampar lantaran
hanyut.
3.
“Mauni manggerre ripangaranna tudang
tellewalewa risabalina, napatudangile rinawana datue rilalamua”.
Maksudnya: biarpun suami-istri sangat
berkasih-kasihan, akan tetapi jika istri orang itu diinginkan datu, maka suami
istri terseut terpaksa bercerai.
Demikian
mutlak kekuasaan Datu atau Pajung pada zaman itu. Tiga hukum tadi cukup menjadi
bukti sistem pemerintahan kerajaan luwu yang Absolut Monarchie. Dan pada masa
pemerintahan Datu ke 14 yakni We Tenriaware bentuk pemerintahannya berubah
menjadi “Konstitutie Monarchie” yang artinya, Datu tidak lagi
mutlak seperti yang sudah-sudah, akan tetapi telah terbatas, sehingga segala
urusan kerajaan harus mendapat persetujuan dari “Ade Dus Belas”. hal ini atas
anjuran “Toaaccana Luwu” atau orang pandai luwu, ia seorang ahli dalam ketata-negaraan
dan diberi gelar Tomenneng. Maka diciptakanlah beberapa dasar hukum untuk
mengganti dasar hukum sebelumnya, antara lain
1. “Puang
temma bawangpawang, ata tenri bawangpawang”.
Maksudnya:
datu (pemerintah), sekali-sekali tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang
kepada rakyat, dan sebaliknya, rakyat tidak boleh sekali-sekali dianiya.
2.
“Puang mappaattu ata ripattutu ”
Maksudnya:
seseorang yang didakwa, baik pemerintah atau swasta, maka hakim tidak boleh
bertidak semena-mena menjatuhkan putusan, tetapi hakim harus memeriksan perkara
tersebut terlebih dahulu.
3.
“Puang
maddampeng ata riaddampengeng ”
Maksudnya:
Datu mempunyai hak untuk mengampunkan seseorang yang bersalah, jika Datu
memandang perlu.
4.
“puang temmattennisulo ata tenriattenai sulo”
Maksudnya:
Datu dan pemerintahan tidak boleh bersifat seperti kelakuan orang yang sedang
memegang suluh yang tengah menyala. Demikian pula sebaliknya rakyat tidak boleh
diperlakukan seperti itu.
5.
“Puang teppleoleo ata tenrileoleo”
Maksudnya:
Datu tidak boleh bersifat rendah, seperti mengejek-ejek atau menghina orang,
dan rakyat tidak boleh dihina dan dipermalukan.
6.
“Puang teggoroliu ata telliusepe”.
7.
“Bolaluka tanengtaneng, kaloluks bola ”.
Maksudnya:
dalam kehidupan rakyat, maka pertanian adalah hal yang sangat penting. Jika
penduduk atau pemerintah ingin membangun rumah/gedung tetapi tempat untuk
membangun tersebut terdapat kelapa, durian, mangga dan lain-lain harus ditebang
dan memberikan ganti rugi kepada pemiliknya. Demikian pula parit sawah yang
hendak digali, jika harus melewati suatu rumah, maka rumah tersebut harus
dibongkar dan diberi ganti rugi (Moh. Natsir, 1962, 61-69).
Bentuk
pemerintahan seperti itu berlangsung terus menerus sampai datangnya Islam di
tanah Luwu kira-kira akhir abad ke 16 atau permulaan awal abad ke 17. Setelah Islam
masuk ke tanah Luwu, ia pun merubah bentuk pemerintahan sesuai dengan bentuk
kehendak Islam. Dalam pemerintahannya dia didampingi oleh seorang Patunru
(perdana menteri) ia bernama Dg. Mangawing dan diberi gelar “Mustafa” atau yang
biasa disebut Patunru Mustafa. Datu kemudian merubah dan membentuk Dua Dewan
yakni, dewan “Ase Asera” (adat sembilan)[39] dan dewan “Ade Seppulo Dua” (Adat dua belas)[40]. Dengan adanya bentuk
pemerintahan seperti ini, maka sebagian besar kekuasaan Datu telah beralih
kepada rakyat terutama soal pengangkatan dan pemecatan datu (Moh. Natsir,
1962,81-94).
Ase Asera
terdiri atas 9 anggota, yang mewakili tiga golongan besar rakyat, yaitu Anak
TelluE, mereka adalah kepala-kepala daerah (gubernur) di daerah masing-masing,
mereka dipilih secara langsung oleh rakyat dan ia mempunyai hak untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Yang kedua Bendera telluE, dalam kerajaan luwu terdapat
tiga golongan dan mempunyai bendera sendiri-sendiri yaitu Anakarung yang merupakan golongan bangsawan dan mempunyai warna
bendera lembayung yang dinamai kamummuE.
Attoriolong merupakan golongan
angkatan bersenjata dan mempunyai bendera berwarna putih dan terdapat gambar
macam ditengah-tengah atau yang biasa disebut “macangnge”. Dan golongan yang ketiga Pampawaopu yang termasuk golongan buruh atau kaum pekerja, lambang
bendera dari golongan ini disebut “goncingnge”
karena ditengah-tengah ada gambar gunting yang terbuka.
Tiga Matoa,
tiga golongan tersebut merupakan tiga golongan penduduk dari Wage (wajo
sengkang), Cenrana (bone) dan Laletonro (soppeng). Jadi mereka adalah keturunan
orang-orang bugis yang menetap di wilayah kerajaan luwu, agar merasa tidak
dianak tirikan maka perwakilan dari masing-masing mereka dimasukan dalam
dewan-dewan tersebut. Ade Sepullo Dua
(adat dua belas). Merupakan gabungan dari semuanya, Terdiri atas Datu/Pajung yang
juga sebagai ketua, Pakatte Ade atau Pengendarang, Anak TelluE , Bandera
TelluE, Tiga Matoa, dan Khadhi. Kadhi berperan sebagai pemberi nasehat-nasehat agar
dalam pengambilan keputusan Datu dan Hadatnya tidak bertindak dengan ajaran dan
hukum Islam. Dan apabila Datu mangkat atau dipecat maka dengan sendirinya Kadhi
harus pula meletakkan jabatannya (Moh. Natsir, 1962; 83-89).
Pada
tahun 1905 belanda mendarat di tanah luwu, namun mendapat perlawanan yang
dipimpin Hulubalang Andi Tadda bersama laskarnya di Ponjalae (putra gamaru,
2011). Belanda akhirnya berhasil menduduki pusat Kedatuan Luwu di Palopo.
Belanda akhirnya membangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan
pemerintahan penjajah diseluruh wilayah Kerajaan Luwu, mulai dari selatan di Pitumpanua
sampai ke utara Poso. Dan dari tenggara Kolaka (Mekongga) hingga ke barat Tana
Toraja. Sistem pemerintahan Luwu dibagi dalam dua tingat pemerintahan yaitu
1.
Pemerintahan
tingkat tinggi dipegang langung oleh pihak Belanda
2.
Pemerintahan
tingkat rendah dipegang oleh pihak Swapraja.
Setelah
Belanda menguasai Luwu dan daerah-daerah sekitarnya, maka lama kelamaan
kerajaan itu diperkecil wilayah kekuasaannya dengan siasat “Divide at imperal”
(moh. Natsir, 1962;5-). Wilayah Kerajaan Luwu kemudian dibagi sekehendak dan
demi kepentingan Belanda menjadi dua Afdeling dan satu Distrik.
1.
Poso
dipisahkan dan dibentuk menjadi satu Afdeling.
2.
Pitumpanua
dibentuk Distrik dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Wajo
3.
Luwu
juga di jadikan Afdeling yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi
menjadi lima Onder Afdeling yaitu
1.
Onder
Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo
2.
Onder
Afdeling Makale dengan ibukotanya Makale
3.
Onder
Afdeling Masamba dengan ibukotanya Masamba
4.
Onder
Afdeling Malili dengan ibukotanya Malili
5.
Onder
Afdeling Mekongga dengan ibukotanya Kolaka.
Tiap-tiap
Onder Afdeling dikepalai oleh seorang bangsa Belanda yang bergelar Controleur atau Gezaghebber. Keadaan ini tidak berubah-ubah lagi sampai jepang
datang menjajah Indonesia. Pada tahun 1942 tentara Jepang menduduki wilayah Kerajaan
Luwu. Dengan segera Jepang memisahkan Kolaka[41] dari Palopo dan dimasukan
dalam kekuasaan Kendari, tindakan Jepang itu menimbulkan rasa benci di hati
rakyat, karena hal ini berarti mempersulit hidup rakyat Luwu terutama penduduk Palopo
dan Kolaka, betapa tidak kedua wilayah tersebut telah lama menjalin hubungan
selama beratus-ratus tahun, baik dalam sosial adat istiadat maupun dalam soal
ekonomi. Dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Dikeluakan suatu
peraturan tentang penggabungan daerah Sulawesi Selatan yang menetapkan Onder
Afdeling Kolaka kembali dimasukkan dalam Afdeling Luwu. Maksud yang penting
dari politik penggabungan tersebut ialah hendak membujuk dan menyenangkan hati
rakyat, Datu Luwu dan Hadatnya. Tetapi mereka menuntut kemerdekaan Indonesia
tanpa syarat (Moh. Natsir, 1962;5-6).
Pada
tahun 1953 keluar suatu peraturan pemerintah No. 34 tahun 1952, tentang
pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembahagiaannya, PP tersebut bermaksud
membubarkan dan membagi dan membagi daerah Sulawesi Selatan dalam 7 daerah Swatantra.
Dan peraturan UU No. 29 tahun 1959, dibubarkanlah status Swapraja dan Neo
Swapraja di Sulawesi Selatan dengan membentuk 13 daerah tingkat II. Sebagai
kelanjutan dari UU sebelumnya maka pada tanggal 19 Desember 1961 No. 2067 A,
dibubarkan semua status distrik diseluruh sulawesi menjadi Kecamatan.
Berdasarkan UU tersebut maka Kolaka dan Tana Toraja terlepas dari Palopo.
Status sebagai Swapraja dihapuskan, sehingga jabatan Datu dan Hadatnya turut
pula terhapus. Penghapusan status Swapraja dan Neo-Swapraja adalah konsekuensi
dari pada Demokrasi, sesuai dengan cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia.
Kini tidak ada lagi jabatan Datu dan Pengadarang di Luwu yang ada hanya kepada
daerah (Moh. Natsir, 1962 6-8), dan Palopo kemudian dikenal menjadi kotamadya Palopo
yang dipimpin seorang walikota.
3.
Budaya dan kesusatraaan Luwu.
Ada empat macam tingkatan
bahasa yang digunakan di luwu yaitu:
1.
Bahasa
“Bissu”. Bahasa ini hanya digunakan oleh kepala-kepala bissu, pada waktu
dilakukan suatu upacara “tari bissu”
2.
Bahasa
“Galigo” suatu bahasa yang kalimat-kalimatnya tersusun indah. Bahasa ini tertulis
dalam buku-buku cerita “mythologis La Galigo”.
3.
Bahasa
“Lontara”, yakni bahasa yang tertulis dalam buku lontara , mengenai
peraturan-peraturan adat.
4.
Bahasa
sehari-hari.
Dalam
hal sastra, orang luwu pandai dalam menyusun kalimat dengan mempergunakan
ibarat dan perumpamaan, baik dalam cerita-cerita maupun dalam nyanyian. Dikalangan penduduk ada dua buah cerita yang
terkenal dan amat di gemari yaitu “Caritana Inderaputera” dan “La galigo”.
Cerita-cerita tersebut amat indah susunan bahasanya, mengandung banyak
perbandingan dan perumpamaan yang berisi pengajaran dan nasehat.
Selain
kaya dalam hal kesusatraan, luwu juga terkenal dengan beberapa jenis-jenis
tarian seperti tari pajaga, tari bissu, tari lulo, tari pagellu dan tari
pajoge. Diantara segala jenis tarian, tarian pajaga merupakan yang terkenal
dimana-mana. Hal ini karena Tari Pajaga merupakan hasil pemikiran yang
bersungguh-sungguh dari orang-orang luwu sendiri. Tari pajaga sendiri terbagi
atas dua, yaitu tari pajaga yang dimainkan oleh perempuan atau yang biasa
disebut pajaga Boneball[42] dan tari pajanga yang
dimainkan ole kaum pria pertama yang
disebut Pajaga Taulolo dan tarian pajaga lain yang di mainkan kaum pria yaitu
pajaga palili[43].
Pajaga boneballa dan pajaga taulolo hanya dimainkan dalam istana Datu dan di
pesta raja-raja atau dihadapan tamu agung kerajaan sebagai bentuk penghormatan.
Sebaliknya pajaga palili tidak boleh dimainkan didalam istana dan dihadapan
tamu agung kerajaan. Pakaian yang digunakan para penari disebut “pokko[44]” semacam baju yang pendek terbuat dari kain
sutera yang tipis disertai dengan perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas
“subang”. Disamping itu mereka juga harus memakai Bungasimpolong[45]
dan memakai sebuah kipas. Tarian ini dimaikan menurut irama nyanyian dan bunyi
gendang. Nyanyian pajaga ada bermacam-macam antara lain ini dibawa mapatakko,
sulsana napabongngo dan paminru siwalie.
Tarian
bissu, sudah tidak ditemukan lagi di daerah Luwu, hal ini karena desakan
kemajuan zaman terutama pengaruh islam. Tari ini dapat dilakukan oleh siapa
saja karena tarian ini dilakukan untuk menebus suatu nasar. Tarian ini termasuk
tarian keagamaan dan hanya dilakukan oleh kau wanita saja. Tarian ini dilakukan
dengan mengikuti irama gendang. Perempuan-perempuan yang menari memakai tombak
dan keris, dalam tarian itu berulang-ulang kali menombak kerbau yang akan
dikorbankan, namun ada beberapa wanita yang melakukan tarian ini mati karena
menikam dirinya sendiri karena saat menari mereka sudah berada dalam keadaan Asoloreng yakni tidak ingat akan dirinya
dan menikam dirinya sendiri dengan keris pada saat itu, yang dimaksudkan agar
segala sakit penyakitnya dalam dirinya dibuhuh. Tetapi yang terjadi malah
penari bissu itu meninggal dunia. Tari bissu yang terkenal pada jaman
sawerigading yaitu Tari Bissu Empat Puluh.
Tari
Lulo merupakan tarian rakyat dan tidak terikat oleh pakaian ataupun batas waktu
tertentu dan dilakukan di daerah-daerah terbuka atau didepan rumah orang yang
sedang mengadakan pesta. Tarian ini bisa dilakukan oleh wanita maupun pria.
Tarian ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan, berjalan-jalan
berputar-putar membentuk suatu lingkaran. Penari-penari tersebut bergerak
menurut irama gong dan tawak-tawak. Tarian ini hanya terdapat di daerah Mekongga
(Kolaka). Tari Pangelu. Tarian ini hanya
terdapat di daerah Tana Toraja dan biasanya dimainkan oleh para wanita-wanita
baik yang masih gadis maupun yang sudah berkeluarga dengan gerakan yang halus,
mengikuti irama gong dan gendang. Tarian ini biasanya dilaksanakan pada
pesta-pesta besar. Tari joge tidak hanya dikenal di Luwu tetapi juga ditempat
lain, tarian ini biasanya dimainkan oleh para wanita-wanita.
Seni
ukir di Luwu biasa disebut “uki-panji”, ukiran ini terdapat pada pintu-pintu
rumah, jendela-jendela, lemari-lemari dan lain-lainnya di rumah orang-orang
yang mampu. Ukiran ini merupakan hasil pemikiran dari orang-orang Luwu sendiri
dan tidak sedikitpun meniru ukiran bangsa lain. namun sayang ukiran ini tidak
berkembang (Moh. Natsir, 1962;26-44).
4.
Pelapisan Sosial Masyarakat Luwu
Pelapisan
sosial masyarakat Luwu dikenal sejak masa Sawerigading, pelapisan ini tetap
berlanjut pada kerajaan Luwu setelah masa Sawerigading. Adapun pelapisan sosial
masyarakat Luwu yaitu
1.
Keturunan
Datu atau Pajung yang terdiri Anakmattola atau Anakangileng
2.
Daeng
atau Tomang, yakni mereka yang merupakan keturunan dari Datu yang hidup sebagai
rakyat biasa.
3.
Hamba
belian, yakni hamba pusaka yang terdiri dari oro termasuk juga orang rampasan dalam peperangan dan orang-orang
yang tidak membayar utang (Iskandar, 1996, 21)
[2] Orang Bugis- Makassar
menganggap tanag luwu sebagai bugis tertuadan meliputi semua negeri di wilayah
sulawesi selatan, sulawesi tenggara, sualwesi tengah dan sulawesi utara. jika
silsilah keturunan mereka ditelusuri, maka akan bermuara di Luwu, silsilah
mereka akan sampai pada saweigading, batara lattu, batara guru dan terakhir
pada pasangan Patotoe dan Datu Palinge
[3] Dari hasil penelitian
OXIST, disekitar Danau Matano dijumpai indikasi lubang-lubang bekas penggalian
dan penambangan kuno, tepatnya di Bukit Latajang. Kandungan besi laterit berupa
biji besi dengan kadar 50%. Selain itu terdapat sumber besi Di Limbong yang
terletak di Kambiri, kampung Uri, desa Pengkendekan dan desa Passanen, kampung
Ponglegen, Desa Marampa.
[4] Lakipadada di Gowa dikenal dengan nama Karaeng Bayo dan dinikahkan
dengan Kareng Baine (Tomanurunga), dia mengikuti jejak sawerigading berkeliling
dunia. Di Tana Toraja di kenal dengan nama Puang Tombolo Buntu.
[7] Mempunyai gelar Petta Matinroe Pattimang, baginda inilah mula-mula
menganut islam pada kira-kira permulaan abad ke 17 dari yang mulia Datuk
Sulaeman, seorang alim ulama besar dan ahli Negara yang berasal
dariMinangkabau, sumatera Barat yang datang bertugas di luwu dan
ditemapat-tempat lainnya sebagai misi islam.
[8] Mempunyai gelar Petta MatinroE
Malangka dan setelah masuk islam dia diberi gelar Sultan Abdullah. Ia
dikenal sebagai raja yang adil, ahli pemerintaha yang cakap dan bijaksana,
tegas, sehingga dapat bertindak tanpa mundur setapak pun, jika tindakannya itu
benar-benar untuk kepentingan rakyat (Moh. Natsir, 1962,82).
[9] Atau yang dikenal juga dengan nama
La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin. Ia wafat di somba opi
gelar maka ia diberi gelar Petta
matinreoE ri Gowa. Yang artinya raja yang meninggal di gowa.
[17] Gelar Petta Matinroe TipuluE dan gelar Sultan Zainab. Baginda adalah
saudara sepupu sekali dengan batara tungke
[23] Anak we tenrileleang menjadi raja di pancana atas permintaan kaum adat
di barru, adik datu pancana diangkat menjadi datu tanete.
[25] Asal usul upacara ritual ini bermula ketika perang cenrana terjadi, diaman datu dewaraja
dikepung selama berbulan-bulan. Ia hanya
memakan mekama umbi-umbian dan sejenisx.
[26] Bahan dan pembuatan pajung dibuat masing-masing oleh Aruang Pao
bertanggung jawab menjahit kain pajung, menjaga Pajung sampai penyerahan ke
Datu. Arung Ussu bertanggung jawab mencari benang kain sutra dari gunung Woila.
Dan Arung Lelewawu bertugas menyiapkan rangka Pajung, Macowa Wotu bertugas
menyiapkan kursi upacara, Makole Baebunta menyiapkan tangkai Pajung.
[27] Gelar Petta MatinroE ri Kombong Beru. Nama kecilnya Andi BaruE, dikenal
pula dengan nama Laoddang Riu
[30] Daerah ini dikenal sebagai Turungang
Damar artinya cikal baka pohon damar. Daera ini juga dikenal sebagai pusat
kebudayaan bugis, dan dari sinilah tersebuar ke Wajo, Soppeng, Bone dan
daerah-daerah bugis lainnya.
[31] Dikenal juga dengan nama opu Anrong guru. Ia sejaman dengan Raja
Wajo La Koro Arung Paladi Batara Wajo.
Ia juga digelari sebagai jendaral Luwu
[33] Gelar Petta MatinroE ri Bintangna dan gelar lainnya Sultan Zainab. Ia
dikenal sebagai perempuan yang arif, cerdas, budiman, dan cantik. Semaca gadis
menjadi rebutan pemuda bangsawan di soppeng, wajo, dan bone.
[35] ia memegang jabatan
Opu Patunru dan karena perlawanan yang dilakuka terhadap belanda maka ia diasingkan ke jawa dan meninggal disana.
[36] Hasil bumi luwu
dipasarkan di pelabuhan Pallime, pelabuhan bone yang terpenting dan ramai pada
saat it.u
[37] Saat menikah dengan Andi jemma, usianya baru 17 tahun, ia merupakan
puteri raja bone andi mappayukki. Perkawinan ini lebih bersifat politik untuk
memperkuat jalinan antara dua kerajaan. Beliau juga merupakan cucu Sultan
Husain raja gowa.
[38] Ia harus ditempatkan di suatu tempat
diluar ibu kota yang disebut “tanah bangkala”. Disana ia tidur , tidak
menggunakan bantal, hanya buah kelapa saja dan makanannya pun sangat sederhana
seperti keladi, umbi-umbian, pisang dan lain-lain, ia harus melakukan itu
selama tujuh hari tuju malam. siang dan malam dengan tidak berteduh. Saat hujan
ia ke hujanan saat kepanasan ia kepanasan.
[39] Biasa juga disebut dewan perwakilan
rakyat yang terdiri atas 9 anggota.
[40] Biasa juga disebut majelis
permusyawaratan rakyat yang terdiri atas 14 anggota, namun hanya memiliki 12
suara.
[41] Pada masa itu, Zending Kristen
menghendaki tana toraja dan kolaka lepas dari palopo, karena memandang palopo
sebagai “pusat islam”. Mereka takut dari pengaruh islam yang selalu datang dari
palopo menyelinap memasuki jantung kota tana-toraja dan kolaka (moh. Natsir,
1962;8-9)
[42] Khusus untuk wanita yaitu Pawinru
(pembina), Sulsana (bijaksana), Piso-Laja (pisau tajam), Ininnawa (jiwa),
Malemo (bulat).
[43] Khusus untu pria yaitu Eja-eja
(merah-merah) dan Seba (kera).
[44] Warna baju paja hanya ada tiga
warana yaitu ijo (hijau), lango-lango (merah muda) dan kamummu (lembayung , tidak terlalu hitam
pekat). Baju dengan warna hijau dan merah biasanya dipakai penari pajaga yang
masih gadis sedangakan warna lembayung biasa dipakai penari pajaga yang sudah
berkeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar