Sebahagian orang kadang mengungkapkan
bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan
ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang
mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah,
atau hanya merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para
petutur di zanan luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar
ussu dan bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama
disebut To Manuru , hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui
darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh
masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa
(berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang
datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung
(orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama)
oleh karena beberapa alasan antara lain:
a, Mungkin sebagai daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar.
b. Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.
c. Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.
Dapat disimpulkan bahwa nama ToManurung
adalah sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan
masyarakatmya pada seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang
kadangkala di mitoskan sebagai turunan dari kayangan. Pada umumnya orang
sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai silsilah baik tertulis maupun
tidak yang dihapalkan secara turun temurun.Biasanya pada
pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga, unpamanya dalam
peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling
dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah.
Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Disamping
itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut
Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita kepahlawanan dan
peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan tolo adalah cerita fakta
manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh kayangan.
TEMPAT TO MANURUNG TANAH LUWU
Dari cerita tentang
To Manurung, bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak
ditulis, baik penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri
utama nya Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati yaitu “
Silsilah Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja
nusantara dan semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu
keturunan dari La Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain
hampir seluruh kerajaan disemananjung Malaysia dan Nusantara.
Sebagaimana umumnya orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan
Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten
pemerintahan,asal muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To
Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai.
Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti
oleh orang Wotu tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo
yang berasal dari kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat
dibuktikan bahwa luas wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar
hampir seluruh daratan sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan
hampir telah menjadi kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah
Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia dianggap membawa
rahmat bagi keselamatan kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang
sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para
etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya
atau clennya yang yang pewaris luwu atau wija sawerigading sementara
yang lain adalah tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara
tentang Luwu dan kelompok lain tidak utamanya tentang adat istiadat.,
padahal bila kita mau mengkajinya secara obyektif mereka semua keturunan
atau wija asselinna Luwu, tidak ada yang dapat mengklaim kelompoknya
yang wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah fase atau waktu
saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware (pusat
penerintahan kerajaan Luwu berpusat) dalan catatan sejarah dapat
memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware
Kelima.,
1.Ware.Pertama. Dimulai pada akhir abad
ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke XIII, dikenal
sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya.
Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu menyebutmya cerrea (orang bugis
menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar lampia. Kota
Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII barulah ada
yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian penduduk masih
menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.
2.Ware Kedua. Dimulai
pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai ,
dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.
3.Ware Ketiga Dimulai disekitar abad ke XV Masehi. Ware (pusat kerajaan) berada di Kamanre, ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal; sebagai Dewaraja.
4. Ware Keempat Dimulai
pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao,
di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya
agama Islam di tanah Luwu.
5. Ware Kelima Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.
Jika kita menyimak catatan perjalanan
ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim
dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami
tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat Luwu adalah
penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu
ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe (mori) dan Tolaki tidak
bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga
mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka
adalah pewaris Macoa.Orang
Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim bahwa hanya merekalah
peduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat pada masa ware
terakhir sampai sekarang, disisilain tidak dapat pula dikesampingkan
peran pada masa ware kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang
sama, hanya waktulah yang membedakannya.semuanya keturunan para
tomanurung,…
( Penulis adalah wakil Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya Sulawesi Tengah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar