Oleh: Amirullah Amir to Baji
Pendahuluan.
Wotu, sebagai komunitas dan sebagai pemukiman secara administratif berada di Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu
Timur atau berjarak sekitar 513 km dari kota Makassar ibukota provinsi
Sulawesi Selatan. Penduduk traditional yang mendiami terdiri dari dua
etnik besar yaitu Wotu dan orang Bugis,
disamping etnik lain seperti Makassar, Jawa, Lombok, Sunda dan Bali,
yang merupakan pendatang yang bermukim di sana. Aktivitas ekonomi
bergerak di bidang pertanian, perikanan dan perdagangan. Di dalam
pergaulan masyarakatnya, berlaku dua bahasa
pengantar yaitu bahasa Wotu yang dituturkan oleh orang Wotu Asli dan
bahasa Bugis. Bahasa Wotu merupakan grup linguistic, Muna-Buton
(Sirk:1986 dan Salombe;1986) dan Kaili Sulawesi Tengah. Dahulu kala
bahasa Wotu alat komunikasi pada sebahagian daerah Sulawesi Selatan pada
sepanjang pesisir Teluk Bone dan sebagian Sulawesi Tengah, dan sekitar
Buton Tenggara. Bahasa Wotu menurut Petras (ibid) adalah salah satu
bahasa asli daerah Luwu dan penuturnya adalah merupakan pewaris budaya
Luwu yang sesungguhnya. Demikian pula dalam struktur hirarkhi Kerajaan
Luwu , yang kadang kala ada sekelompok golongan ingin mengaburkan atau
menghilangkan sejarah
ini, yang lebih ironis justru dari kelompok generasi Luwu pada
periode-periode akhir, mereka tidak menyadari bahwa Wotu bukan merupakan
palili (vassal) tetapi merupakan Domain yang menghubungkan kekuasaan
Luwu dengan yang lain dengan Lembah Poso yang mendiami tanah Datu,
Potensi sejarah dan kekunoan Luwu belum banyak dikaji, sehingga pengetahuan tentang
Wotu masih terbatas, salah satu yang terakhir dilakukan oleh Ian
Caldwel dan D.Bulbeck (2000) dalam final report proyek OXIS,Land of
Iron. Yang menarik adalah bahwa keberadaan arkeologis Wotu sekitar 1500
tahun lebih tua dari Malangke, yang diyakini sebagai pusat perdagangan
Luwu di abad ke XII – XIV, semua ini didasarkan pada temuan keramik dan
hasil Fotocarbon terhadap lapisan kandungan tanah dari berbagai situs
yang ada di Luwu. Berbagai bukti penemuan arkeologi, tradisi lisan
maupun naskah mendukung hal tersebut seperti bukit Lampenai dan Mulaitoe
(Mulataue) dimana diyakini merupakan areal pertanian, dimana dikisahkan
Batara Guru sebagai Tomanurung berdiam dan memperkenalkan ladang untuk
pertama kalinya kepada manusia di Luwu. Demikian pula situs Benteng tua
serta Serre Bessue di muara sungai Wotu, tempat para Bissu menari untuk
suatu acara ritual. Berdasarkan potensi sejarah,antropologi yang
dimiliki daerah Wotu, adalah menarik untuk mengangkat potensi budaya
yang ada dalam masyarakat seperti ritual dan kesenian.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, beberapa kesenian yang berada di daerah Wotu seperti Kajangki
dan Sumajo menarik untuk dilestarikan dan diperkenalkan bukan saja
kepada generasi muda di Wotu tetapi juga kepada umum yang belum pernah
menyaksikannya. Kajangki berasal dari kata Jangki yang berarti
kemenangan, yang dimaksud adalah kemenangan Luwu yang dicapai oleh
perajurit dalam menghadapi musuh-musuhnya. Berdasarkan keterangan yang
diperoleh, bahwa keberadaan kajangki di Wotu adalah sejak adanya ade”
atau adaptasi yang mengharuskan adanya norma yang berlaku bagi yang
melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka dikenakan
sanksi yang dinamakan “Eja-Eja”. Hal ini memberi penjelasan bahwa
kajangki dilaksanakan sebagai realisasi rasa syukur atas kemenangan yang
dicapai dalam medan perang atau mendapat rezeki dalam kehidupan. Karena
itu siapa yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan kajangki
dianggap melanggar norma adat dan akan diberikan sanksi sesui ketentuan
yang berlaku.
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa
kajangki merupakan kesenian asli Luwu seperti yang dikukuhkan dalam
surah Mulataue dalam epos La Galigo yang berbunyi ”Majangki ri Luwu,
Masengo-sengo ri Mengkoka, Mabbadong ri Toraja,” sementara berdasarkan
pengetahuan yang ada, bahwa semua wilayah Luwu Kajangki hanya
diketemukan di Wotu.
BAGAIMANA WOTU SEKARANG.?
Dari pedoman 5W 1H, tampak pertanyaan 5W
telah terjawab dalam penjelasan tentang identitas orang Wotu secara
umum. Namun ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiran yaitu How
(Bagaimana) orang Wotu saat ini.
Dari beberapa kali pulang kampung yang saya lakukan, tampak benar
kebanggaan orang-orang Wotu akan identitas mereka sebagai To Luwu yang
utamanya keturunan asli. Kebanggaan sebagai pemilik kebanggaan asli Luwu
yang didukung berbagai fenomena-fenomena dan pertanyaan seperti, Wotu
sebagai Kakak (macoa) dari Datu Luwu, berdasarkan mitologi versi wilayah
ini tentang empat bersaudara dari moyang dari orang Wotu, Luwu, Palu
dan Buton dan juga keberadaan empat tempat keramat seperti Tana
Bangkolo, Tana Padda, Ue Mami dan sebagainya. Namun jika memandang saat
ini, kebanggaan obyek tersebut tampaknya dinafikkan oleh generasi
terahkir pewaris kebudayaan Luwu secara bertahap.Seperti dahulu dan
mungkin juga sekarang masih ada rumor mengatakan orang wotu sebagai
parassu rassu atau tempat ilmu hitam doti dan sebaginya, hal ini
dilakukan sebagai strategi
pembunuhan krakter bagi orang Wotu sebagai salah satu komunitas
pemilik budaya Luwu. Selamjutnya mengenai bahasa, menurut kajian DR.
Abdullah pengguna bahasa ini diperkirakan tinggal 5000 orang dan
keberadaannya 10 km persegi dalam wilayah Kecamatan Wotu saja. Hal ini
disebabkan telah berkurangnya pemakai bahasa Wotu dalam lingkungan
masyarakat Wotu akibat kawin campur dengan para pendatang, menyebabkan
komunikasi menggunakan bahasa Bugis dan bahasa Indonesia.
Demikian juga dalam konteks politik terakhir, berdasarkan sejarah dan
temuan, bahwa proses pembentukan Luwu Timur, keberadaan Kota Wotu yang
paling layak sebagi ibu kota kabupaten, mengingat Wotu pernah menjadi
ibu kota atau ware Kerajaan Luwu pada periode awal.
PENUTUP
Kebesaran budaya Wotu yang ada dan
berbagai potensi di dalamnya, kiranya kita lihat dalam konteks kekinian
dalam persfektif modern, Jika terus menggugat berbagai perlakuan yang
orang Wotu terima akhir-akhir ini. Marilah kita gari
jalan keluar bersama-sama dalam memecahkan masalah tersebut. Jika kita
bisa belajar kita tidak akan menjadi bangsa/komunitas yang hidup dengan
masa lalu, seperti orang-orang Indian yang pernah begitu berjaya di
lembah prairie Amerika,
sekarang mereka tinggal dalam desa adapt meraka yang kumuh dan hanya
menjadi obyek pariwisata. Orang Wotu belum terlambat untuk bangun.
( Penulis adalah peneliti pada devisi social budaya, humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar